Rabu, 20 April 2016

Sertifikat PHBML Skema FSC FMU Enggal Mulyo


Forest Management Unit Enggal Mulyo Desa Mrayan Kecamatan Ngrayun Kabupaten Ponorogo adalah pengelola Hutan Rakyat yang berkomitmen dalam pengelolaan secara lestari, sebagai salah satu acuan untuk pengelolaannya menggunakan salah satu skema sertifikasi internasional yaitu FSC (Forest Stewardship Council). FMU Enggal Mulyo selalu mencoba dan berjuang untuk LEBIH dari SEKEDAR meraih sertifikasi.  Karena sertifikasi adalah sebatas alat (tools) untuk pengelolaan hutan lebih baik


Rabu, 10 Februari 2016

SOLUSI PENYULUH PASCA UU. 23/2014




http://agroindonesia.co.id/wp-content/uploads/2015/10/bambang-soepi.jpg

Terbitnya Undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengubah peta pembagian kewenangan antara pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. Termasuk yang ikut berubah adalah untuk urusan bidang kehutanan, di mana penyelenggaraan penyuluhan termasuk di dalamnya.
Kewenangan urusan penyuluhan kini hanya menjadi milik Pemerintah Pusat dan Provinsi, yang menjadikannya semakin jauh dari masyarakat di lapangan — sang target penyuluhan. Kalau sudah begini, target-target pembangunan kehutanan yang sangat berhubungan perwujudan Nawa Cita Joko Widodo bisa terpengaruh.
Untuk itu, perlu ada solusi segera agar penyelenggaraaan penyuluhan tetap efektif. Bagaimana? Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM (BP2SDM) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bambang Soepijanto memaparkan sejumlah usulan. Intinya, penyuluhan kehutanan tetap bisa dilakukan di tingkat Kabupaten/Kota dengan memberikan tugas pembantuan dari Pusat.
Bagaimana persisnya penyelenggaraan penyuluhan paska UU No 23 tahun 20014 dan memastikan selalu tetap efektif, berikut petikan wawancara dengan doktor jebolan Universitas Brawijaya ini:
UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah sudah setahun usianya. Apakah ada pengaruhnya untuk Kementerian LHK, khususnya untuk kegiatan penyuluhan kehutanan?
Tentu ada pengaruhnya. Berdasarkan UU itu, penyelenggaraan penyuluhan kehutanan kini ditarik ke Pusat, paling jauh ke Provinsi. Ada enam sub urusan kehutanan yang kini konkuren hanya antara Pusat dan Provinsi. Kabupaten/Kota tidak lagi punya kewenangan. Sub urusan itu adalah perencanaan hutan, pengelolaan hutan, konservasi SDA hayati dan ekosistemnya, pengelolaan DAS, pengawasan kehutanan, dan pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan.
Jadi, berdasarkan UU tersebut, lembaga yang menyelenggarakan penyuluhan di Kabupaten/Kota, yaitu Badan Pelaksana Penyuluhan (Bapeluh), akan kehilangan kewenangannya untuk urusan kehutanan.
Ini membuat penyelenggaraan penyuluhan semakin jauh rentang kendalinya. Jadi, pasti berdampak pada keberhasilannya. Dan tentu saja akan berdampak pada keberhasilan program-program kehutanan.
Bukankah penyelenggaraan penyuluhan kehutanan ada UU-nya sendiri seperti diatur pada UU No. 16 tahun 2004? Di situ kan jelas soal eksistensi Bapeluh?
Benar. Tapi ada paradoks antara UU No. 16 tahun 2004 dengan UU No. 23 tahun 2014. Berdasarkan UU No. 16/2004, memang dimandatkan adanya penyelenggaraan penyuluhan kehutanan hingga Kabupaten. Tapi di UU No. 23/2014, kewenangan pengurusan sektor kehutanan hanya sampai Provinsi. Di Kabupaten tidak ada kamarnya.
Sebenarnya, kalau Kabupaten tidak merasa rugi dan dia mau, biarkan saja Bapeluh tetap hidup. Tapi harus diingat, prinsip pembiayaan anggaran pemerintah adalah money follow function. Nah, kalau fungsi Bapeluhnya sudah tidak ada, tidak mungkin juga APBD bisa membiayai.
Harus dipahami juga, dalam UU No. 23 tahun 2014 seluruh urusan bidang perikanan ditarik ke Pusat. Sementara untuk penyelenggaraan penyuluhan pertanian harus didukung oleh peraturan presiden. Dalam UU tersebut, urusan-urusan yang tidak dinyatakan, maka pelaksanaannya menunggu peraturan presiden. Nah, urusan pertanian termasuk yang tidak dinyatakan.
Lantas bagaimana agar tetap bisa berjalan efektif dengan situasi tersebut?
Agar Bapeluh tetap hidup, kami tawarkan agar bersedia ditempelkan untuk urusan penyuluhan lingkungan hidup. Berdasarkan UU No. 23 tahun 2014, penyelenggaraan urusan lingkungan hidup memang masih konkuren Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota.
Bapeluh nantinya bisa melakukan tugas pembantuan untuk penyuluhan kehutanan. Ini bisa dilakukan sambil menunggu kepastian lebih lanjut dari perpres yang mengatur urusan pertanian.
Ini memang masih ide, kami akan minta pendapat dari Bapeluh, Badan Koordinator Penyuluhan (bakorluh), dan dinas kehutanan untuk mencari solusi ini. Kami juga minta masukan dari pihak-pihak terkait lainnya termasuk menteri Koordinator bidang Perekonomian, sebagai Koordinator Nasional Penyuluhan. Pastinya, perlu ada solusi agar penyelenggaraan penyuluhan bisa tetap efektif.
Selain soal kelembagaan penyuluhan, langkah apa yang sudah diambil paska terbitnya UU 23/2014?
Kami sedang melakukan proses untuk mengubah status penyuluhan kehutanan menjadi pegawai pusat. Selama ini mereka tercatat sebagai pegawai daerah. Oleh karena itu, kami sudah berkomunikasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Badan Kepegawaian Nasional. Adanya UU Aparatur Sipil Negara ikut memudahkan proses tersebut.
Kalau begitu, nanti pegawai Pusat makin banyak dong? Apakah tidak menambah beban anggaran?
Oh tentu tidak. Jumlah pegawai memang bertambah cukup banyak, sekitar 4.000-an. Tapi tidak masalah. Anggaran untuk gaji pegawai kan disalurkan lewat DAU sesuai jumlah personel di daerah. Jadi, begitu status pegawai ditarik ke Jakarta, DAU-nya tiggal ditarik juga ke Pusat.
Tidak akan menambah beban anggaran. Ini zero sum game, hanya kantong kiri kantong kanan.
Penyuluh bisa saja nantinya di BKO ke Provinsi. Tapi gaji tetap dari Pusat. Kalau nanti ada tambahan apa-apa dari daerah, bisa saja.
Bagaimana situasi yang berkembang di lapangan saat ini dengan adanya UU No. 23/2014 itu?
Sebenarnya bisa dengan mudah ditangkap adanya kekhawatiran, ada ketidakpastian karena kekosongan kewenangan daerah Kabupaten/Kota. Mereka ragu, Pusat tidak bisa memfasilitasi. Akhirnya bisa saja urusan penyuluhan kehutanan tidak dilakukan. Termasuk urusan bidang kehutanan lainnya.
Penyelenggaraan penyuluhan ini jangan dianggap main-main loh, karena terkait dengan SDM. Jadi, persoalan ini jangan disederhanakan.
Kalau begitu, pasti ada pengaruhnya ke penyerapan anggaran dong?
Tentu. Kami masih perhitungkan saat ini bagaimana dampaknya dan antisipasinya. Pembagian kewenangan ini kan terkait juga kucuran Dana Dekonsentrasi (Dekon) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) ke daerah.
Dana Dekonsentrasi sendiri hanya bisa dimanfaatkan untuk belanja yang sifatnya program, misalnya monitoring dan evaluasi penyuluhan. Sementara Dana DAK bisa dimanfaatkan untuk kegiatan yang bersifat fisik. Hanya saja, DAK itu adalah pembiayaan pemerintah atas kewenangan pemerintah daerah. Kalau bukan kewenangan daerah, tentu tak bisa dibiayai DAK. Sugiharto


PASCA BERLAKUNYA UU 23/2014, KEMENTRIAN LHK TAWARKAN SOLUSI

http://agroindonesia.co.id/wp-content/uploads/2015/10/laput-depan.jpg
http://agroindonesia.co.id/index.php/2015/10/20/pasca-berlakunya-uu-232014-kementerian-lhk-tawarkan-solusi/

Pengesahan Undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ternyata membuat bingung pemerintah daerah, terutama Kabupaten/Kota. Selain belum adanya aturan turunan, meski UU sudah berumur satu tahun, yang paling meresahkan adalah hilangnya kewenangan, termasuk urusan kehutanan yang kini dipegang Pemerintah Pusat.
Keresahan itu yang kini dialami aparat pemerintah daerah, khususnya pemerintah Kabupaten/Kota. Di bidang kehutanan, misalnya. Dari seluruh enam sub urusan bidang kehutanan, kecuali konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, kewenangan pemerintah kabupaten hilang. Lima sub urusan lainnya, pembagiannya hanya sampai pemerintah provinsi. Bahkan untuk urusan perencanaan hutan dan pengawasan kehutanan diambil penuh oleh pusat.
Dibetotnya kewenangan kabupaten/kota ke pusat dan provinsi ini yang memicu keresahan. Maklum, yang hilang bukan sekadar otoritas. Ada lembaga yang sudah terbentuk dan ada tenaga kerja di sana. Bicara tenaga kerja, ada ribuan orang yang terlibat. Penyuluhan, contohnya. Berdasarkan amanat UU No. 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K), di tingkat Kabupaten/Kota dibentuk Badan Pelaksana Penyuluhan (Bapeluh). Nah, sampai kini, sudah 463 Bapeluh dibentuk di seluruh Indonesia.
Jadi, bisa dibayangkan jumlah tenaga yang terlibat. Itu sebabnya, Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BP2SDM), Kementerian LHK bersikap tanggap. Selain harus menjawab keresahan ribuan tenaga penyuluh, hilangnya Bapeluh bisa mengancam program kehutanan di lapangan. “Penyelenggaraan penyuluhan jangan dianggap main-main, karena terkait dengan SDM serta keberhasilan program-program kehutanan. UU No. 23/2014 membuat Bapeluh kehilangan wewenang untuk urusan hutan,” ujar Kepala BP2SDM Kementerian LHK, Bambang Soepijanto di Jakarta, Kamis (15/10/2015).
Loh, bagaimana UU No.16/2006 yang mengamanatkan pembentukan lembaga itu? Inilah paradoks antara UU 16/2016 dengan UU 23/2014. Meski ada Bapeluh, tapi kewenangan untuk urusan hutan hanya sampai Provinsi. Apalagi, prinsip anggaran pemerintah adalah money follow function. “Jika fungsi Bapeluh sudah tak ada, tidak mungkin APBD bisa membiayai,” paparnya.
Bambang mengaku bukan tidak ada solusi untuk menjawab keresahan tersebut. Salah satunya dengan membagi Bapeluh kewenangan urusan penyuluhan lingkungan hidup, yang masih ada dalam UU No. 23/2014. Artinya, Bapeluh “ditempelkan” untuk urusan penyuluhan lingkungan hidup dan tugasnya adalah pembantuan penyuluhan kehutanan. Ide ini yang nampaknya akan disampaikan dalam rapat koordinasi penyuluhan yang dilakukan Kamis (22/10/2015) pekan ini, selain sejumlah persoalan lainnya.
Sikap tanggap mencari solusi ini memang perlu karena berlakunya UU No.23/2014 ternyata menimbulkan kebingungan dan keresahan di daerah. Bukan hanya urusan penyuluhan, sebetulnya, tapi banyak urusan kehutanan lainnya di mana kewenangan Kabupaten/Kota ditarik ke pusat. AI

MEMBACA KERESAHAN PENYULUH

http://agroindonesia.co.id/wp-content/uploads/2015/10/penyuluhan-lmdh-madyo-laras.jpg
http://agroindonesia.co.id/wp-content/uploads/2015/10/penyuluhan-lmdh-madyo-laras.jpg

Penyelenggara penyuluhan di Kabupaten/Kota saat ini sedang resah dan kebingungan. Jika menggunakan bahasa gaul, mereka sedang “galau tingkat dewa”. Penyebabnya tak lain UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Terbitnya UU No. 23 tahun 2014 ternyata membuat hilangnya kewenangan untuk urusan bidang kehutanan. Yang hilang bahkan seluruh urusan bidang kehutanan. Situasi ini dikhawatirkan membuat kegiatan penyuluhan menjadi terabaikan. Padahal, banyak juga pemerintah Kabupaten/Kota yang memiliki komitmen untuk penyelenggaraan penyuluhan, mengingat perannya yang sangat vital.
Kepala Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BP2KP) Kabupaten Cilacap, Susilan, misalnya. Dia mengaku saat ini pihaknya sedang gelisah. Hilangnya kewenangan penyelenggaraan penyuluhan kehutanan dikhawatirkan bakal mempengaruhi efektivitas kegiatan penyuluhan di lapangan. “Dengan rentang kendali yang semakin jauh, tentu tantangan kegiatan penyuluhan kehutanan semakin sulit,” katanya.
Susilan mengungkapkan, optimisme kegiatan penyuluhan kehutanan akan semakin baik dan coba dibangun pasca terbitnya UU No 23 tahun 2014. Namun, realitasnya hal itu sangat sulit dilakukan. Berbagai urusan terkait kegiatan penyuluhan, seperti administrasi, penyediaan sarana dan prasana, dan hal terkait lainnya akan lebih mudah dilakukan jika penyelenggara kegiatan dekat dengan penyuluh dan target penyuluhannya.
Susilan pun mengaku khawatir dengan masa depan program pengembangan hutan rakyat, pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, dan program kehutanan lainnya. Penyelenggaraan penyuluhan yang tidak efektif dipastikan akan mengancam keberhasilan program-program prioritas tersebut. “Hutan di Cilacap cukup luas dan butuh penanganan. Jika tidak akan terancam kritis,” katanya.
Saat ini jumlah penyuluh kehutanan di BP2KP Kabupaten Cilacap mencapai 45 orang. Selain itu juga tercatat 81 penyuluh pertanian, 84 Tenaga Harian Lepas-Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian, dan 13 orang penyuluh perikanan.
Menurut Susilan, jumlah penyuluh yang ada saat ini sesungguhnya pas-pasan. Dia khawatir formasi penyuluh yang ada bakal berubah jika pemerintah provinsi melakukan mutasi jabatan.
Dia makin galau karena berdasarkan UU No. 23 tahun 2014, kewenangan penyelenggaraan penyuluhan di sektor lain juga tak jelas. Untuk penyelenggaraan penyuluhan perikanan ditarik sepenuhnya ke Pusat. Sementara penyelenggaraan penyuluhan pertanian masih menunggu kejelasan lebih lanjut yang bakal diatur dalam peraturan presiden (Perpres).
“Kami harap UU No. 23 tahun 2014 bisa segera direvisi. Urusan penyelenggaran penyuluhan terlalu kecil jika harus diatur dari pusat secara langsung,” katanya.
Perpres segera terbit
Wajar memang jika ada harapan agar UU Pemerintahan Daerah direvisi kembali. Apalagi, akibat UU tersebut, Bapeluh kini kehilangan kewenangan urusan bidang kehutanan. Bahkan, tak cuma itu. Bapeluh juga kehilangan kewenangan urusan bidang perikanan yang ditarik sepenuhnya ke Pusat.
Eksistensi Bapeluh juga makin tidak jelas. Kewenangan urusan bidang Pertanian pun masih belum diatur secara tegas, sebab masih menunggu terbitnya peraturan presiden sesuai amanat UU Pemerintahan Daerah.
Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kementerian Pertanian, Pending Dadih Pernana menyatakan, saat ini pihaknya masih menunggu terbitnya peraturan presiden (Perpres) yang mengatur peta kewenangan tentang konkurensi.
Dia mengatakan, draft perpres sudah tuntas dan sedang difinalisasi di Kementerian Dalam Negeri. “Mudah-mudahan dalam waktu dekat sudah bisa terbit,” katanya.
Dia menjelaskan, dalam perpres itu nantinya akan mengatur hal-hal subtantif yang merupakan amanat dari Undang-undang No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Termasuk di dalamnya adalah kebijakan strategi, pembinaan dan pengawasan, kelembagaan, ketenagakerjaan, dan pelaksanaan.
Harapan
Di tengah kondisi galau akibat dampak UU Pemerintahan Daerah, ada optimisme yang coba dibangun oleh para penyuluh kehutanan. Mereka berharap kegiatan penyuluhan bakal makin diperhatikan. Dampaknya, penyelenggaraan urusan penyuluhan pun bakal makin efektif.
Berti, penyuluh kehutanan dari Biak Numfor, Papua menyatakan, saat ini perhatian yang diterima penyuluh dan kegiatan penyuluhan kehutanan sangat minim. “Jadi, kami mohon agar diperhatikan mengingat pentingnya kegiatan penyuluhan,” katanya.
Dia menuturkan, jumlah penyuluh kehutanan di Biak Numfor ada delapan orang. Terkesan banyak. Namun, dengan luas wilayah kerja yang terdiri atas 19 kecamatan dan 250 kampung, petugas tersebut sangatlah minim. Luas daratan Kabupaten Biak Numfor sendiri sekitar 3.000 km2.
“Biak Numfor ini kepulauan. Jadi, banyak lokasi yang sulit dijangkau,” kata Berti.
Harapan positif juga dinyatakan Nurhayadi, penyuluh dari Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Penyuluh pemenang pertama penghargan Wana Lestari 2015 itu menyatakan, dengan ditariknya penyelenggaraan penyuluhan kehutanan ke Kementerian LHK, maka kegiatan penyuluhan kehutanan akan lebih fokus.
Dia menuturkan, selama ini ada salah kaprah dalam penyelanggaran penyuluhan, di mana seorang penyuluh diharuskan memiliki kemampuan di lintas bidang pertanian, perikanan, kehutanan. Hal itu membuat penyuluh tak fokus dengan bidang pekerjaannya.
“Seseorang yang spesialis akan lebih baik, sehingga pekerjaannya pun berdampak kepada bidang lain,” katanya. Sugiharto


KETIKA KOMANDO PENYULUH KEMBALI KE PUSAT


http://agroindonesia.co.id/wp-content/uploads/2015/10/penyuluhan-2.jpghttp://agroindonesia.co.id/index.php/2015/10/20/ketika-komando-penyuluh-kembali-ke-pusat/
Terbitnya Undang-undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diharapkan bisa membenahi otonomi daerah yang kebabalasan. Namun, undang-undang yang terbit di masa ‘injury time’ periode kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono itu ternyata menyisakan PR besar yang mesti segera diselesaikan. Respons yang terlambat bisa membuat banyak persoalan bangsa tak terpecahkan.
UU No. 23 tahun 2014 memang cukup revolusioner. Bagaimana tidak. Kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota untuk sejumlah urusan kini dibetot, terutama yang terkait sumber daya alam. Salah satunya adalah kewenangan untuk urusan bidang kehutanan.
Berdasarkan UU tersebut, konkurensi bidang kehutanan yang masih dibagi hingga pemerintah Kabupaten/Kota hanyalah untuk Taman Hutan Rakyat (tahura). Itupun hanya untuk Tahura yang seluruh wilayahnya berada di Kabupaten/Kota tersebut. Sementara urusan bidang kehutanan lainnya menjadi kewenangan Pusat dan Provinsi. Termasuk untuk urusan penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat.
Situasi ini sesungguhnya memicu kekhawatiran. Maklum, penyelenggaraan urusan penyuluhan sejatinya tak bisa jauh-jauh dari targetnya, yaitu masyarakat di lapangan. Semakin jauh rentang kendali penyelenggaraan penyuluhan, dikhawatirkan membuat pesan pembangunan yang disampaikan penyuluh menjadi bias. Dampaknya tentu saja besar, melencengnya target-target pembangunan kehutanan.
“Untuk itu perlu ada solusi agar penyelenggaraan tetap bisa berjalan efektif,” kata Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bambang Soepijanto, di Jakarta, Kamis (15/10/2015).
Asal tahu saja, kegiatan penyuluhan yang dilakukan di tingkat Kabupaten/Kota sangat bejibun. Sebut saja program Kampanye Indonesia Menanam, Kampanye kecil Menanam Dewasa Memanen, pendampingan kegiatan Kebun Bibit Rakyat, Hutan Rakyat, dan sejumlah program penanaman lainnya. Program-program tersebut merupakan unggulan Kementerian LHK dan menjadi bagian dari pencapaian target rehabilitasi hutan dan lahan seluas 5 juta hektare (ha) pada periode 2015-2019.
Masih ada program pendampingan kelompok usaha produktif dan peningkatan kapasitas SDM. Selain itu, banyak lagi program-program yang merupakan perwujudan Nawa Cita yang sudah dicanangkan Presiden Joko Widodo, di mana penyuluh menjadi ujung tombaknya.
Perpres
Penyelenggaraan penyuluhan sebenarnya punya payung hukum yang cukup kuat dengan UU No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K). Salah satu amanat dari UU tersebut adalah dibentuknya Badan Pelaksana Penyuluhan (Bapeluh) Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan di tingkat Kabupaten/Kota untuk meningkatkan efektifitas rentang kendali kegiatan penyuluhan.
Hingga saat ini, tercatat ada 463 Bapeluh yang telah berdiri di kabupaten/kota seluruh Indonesia.
Persoalannya, ya itu tadi. Bapeluh kini kehilangan kewenangan urusan bidang kehutanan. Bahkan, tak cuma itu. Bapeluh juga kehilangan kewenangan urusan bidang perikanan yang ditarik sepenuhnya ke Pusat.
Masa depan Bapeluh makin suram karena kewenangan urusan bidang Pertanian pun masih belum jelas. Berdasarkan UU Pemerintahan Daerah, kewenangan urusan bidang pertanian masih harus menunggu terbitnya peraturan presiden. Hingga kini, setahun pasca terbitnya UU Pemerintahan Daerah, belum ada sinyal peraturan presiden tersebut bakal terbit.
Bambang menjelaskan, ada jalan keluar agar kegiatan penyuluhan kehutanan tetap bisa berjalan efektif. “Caranya adalah dengan membagi Bapeluh kewenangan urusan penyuluhan lingkungan hidup,” katanya.
Berdasarkan UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebanyak 11 urusan sub bidang lingkungan hidup memang masih ditetapkan konkuren antara Pusat, Provinsi, dan kabupaten Kota. Termasuk untuk urusan pelatihan dan penyuluhan lingkungan hidup bagi masyarakat.
Dengan membagi kewenangan urusan penyuluhan lingkungan hidup, maka Bapeluh masih bisa tetap eksis. Apalagi, jika kemudian perpres pembagian urusan bidang pertanian juga terbit. Selanjutnya, Bapeluh bisa mendapat Tugas Pembantuan dari Pusat untuk melaksanakan penyuluhan kehutanan. Itu artinya, APBN dari pusat bisa dikucurkan untuk tugas pembantuan tersebut.
Bambang menjelaskan, untuk memberikan tugas pembantuan penyuluhan ke Kabupaten/Kota sebenarnya tidak mesti ke Bapeluh. Bisa juga ke dinas yang mengurusi kehutanan. “Tapi kan sekarang dinas di kabupaten/kota juga sudah tidak ada. Makanya Bapeluh perlu tetap ada,” katanya.
Meski demikian, Bambang mengakui wacana penyelamatan Bapeluh tersebut masih perlu dikomunikasikan dengan pihak terkait. Dia menekankan, solusi apapun nantinya yang disiapkan, tujuannya adalah mengefektifkan kegiatan penyuluhan di lapangan sehingga target-target pembangunan bisa tercapai.
Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menambahkan, saat ini tim teknis pada tingkat eselon I lintas Kementerian terus bekerja untuk menyelaraskan hal-hal terkait pembagian kewenangan antara Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. “Penyuluhan itu kan ada UU-nya sendiri. Saya kira tidak akan terlepas dari UU penyuluhan itu,” katanya. Sugiharto

Lebih Mudah dengan Undang-undang ASN

Terbitnya UU No. 23 tahun 2014 tak bisa dipandang sederhana, khususnya untuk bidang kehutanan. Apalagi, kementerian yang mengurusnya saat ini baru berbenah untuk struktur organisasi pasca dibentuknya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kementerian LHK, Bambang Soepijanto menjelaskan, ada kekhasan pada UU Pemerintahan Daerah, di mana tiga bidang disebut secara khusus untuk konkurensinya hanya pada tingkat Pusat dan Provinsi. Bidang itu adalah kehutanan, perikanan, dan energi sumber daya mineral.
Oleh karena itu, Bambang menjelaskan, langkah yang telah diambilnya adalah berkomunikasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Badan Kepegawaian Negara untuk mengubah status penyuluh menjadi pegawai Pusat. Proses tersebut bisa lebih mudah dengan adanya Undang-undang No 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Hal itu dipastikan akan menambah jumlah pegawai Pusat. Meski demikian, kata Bambang, hal itu tidak akan menambah beban anggaran pemerintah pusat. Pasalnya, selama ini gaji para penyuluh bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) dari pemerintah Pusat. “Jadi, begitu status pegawainya ditarik ke Jakarta, anggaran gajinya juga ditarik ke Pusat,” katanya.
Penyuluh juga bisa ditempatkan di provinsi secara BKO (Bawah Kendali Operasional). Namun, gaji tetap disalurkan oleh pemerintah pusat, meski untuk tambahan atau insentifnya bisa dialokasikan oleh Provinsi.
Perubahan pembagian kewenangan seperti diatur pada UU Pemerintahan Daerah dipastikan akan ikut menentukan besar kecilnya serapan anggaran Kementerian LHK. Hal ini terkait dengan kucuran Dana Dekonsentrasi (Dekon) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari Kementerian LHK ke daerah.
Dana Dekonsentrasi sendiri hanya bisa dimanfaatkan untuk belanja yang sifatnya program, misalnya monitoring dan evaluasi penyuluhan. Sementara Dana DAK bisa dimanfaatkan untuk kegiatan yang bersifat fisik. Hanya saja, DAK itu adalah pembiayaan pemerintah atas kewenangan pemerintah daerah. “Kalau bukan kewenangan daerah, tentu tak bisa dibiayai DAK,” kata Bambang.
Selain urusan penyuluhan, ada enam sub urusan lagi yang kewenangannya kini hanya pada Pusat dan Provinsi. Yaitu urusan perencanaan hutan, pengelolaan hutan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS), dan pengawasan kehutanan. Sugiharto

Share This: