Pendahuluan
Hutan
yang dikelola dengan intensitas kecil dan rendah (selanjutnya disebut: hutan
rakyat) didorong oleh program penghijauan yang diprakarsai oleh pemerintah
Indonesia sekitar tahun 1975, terutama di daerah aliran sungai yang dianggap
kritis, termasuk hutan yang rusak, belukar, lahan kosong dan lahan terlantar (BPKH
2009).
Hutan
ini juga berkontribusi sebagai pasokan bahan baku (kayu bulat) ke industri kayu
yang selama periode 2007-2011 dimana luasan hutannya terus bertumbuh, khususnya
di Jawa (Astana et al. 2014), setidaknya menurut Darusman and Hardjanto (2006)
bahwa secara berurutan luasan dan produksi kayu dari hutan rakyat di Indonesia
adalah 1,56 juta ha dan 39,56 juta m3.
Pohon
cepat tumbuh seperti Sengon (Paraserianthes falcataria) dan Jabon
(Anthocephalus cadamba) menjadi jenis pohon yang umum ditanam oleh masyarakat.
Perkembangan
permintaan pasar untuk produk kayu ramah lingkungan didorong oleh konsumen
hijau di negara maju yang secara tidak langsung mendorong produsen bahan baku
kayu bulat untuk beradaptasi dalam pengelolaan hutannya.
Hinrichs
et al. (2008) menjelaskan bahwa pengembangan sertifikasi hutan rakyat tidak
dapat dihindari untuk memenuhi aspek keseimbangan produksi, lingkungan dan
keberlanjutan sosial. Setidaknya dua skema sertifikasi yang diprakarsai,
Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan Forest Stewardship Council (FSC), mulai mengakui pengelolaan hutan lestari untuk beberapa hutan
rakyat di Indonesia sejak tahun 2004.
Secara
khusus, skema terakhir di atas mencakup persyaratan internasional yang
disesuaikan dengan peraturan lokal atau nasional.
Hutan
rakyat juga memiliki karakteristik dalam kegiatan pemanenan kayu dan
pengelolaan hasil hutannya dibandingkan dengan hutan alam atau tanaman. Petani
cenderung memanen kayu ketika mereka membutuhkan, seperti untuk sekolah,
perayaan, pembangunan rumah (Hinrichs et al. 2008).
Dalam
konteks sertifikasi hutan rakyat, dapat diasumsikan bahwa unit manajemen hutan
telah memiliki rencana kelola hutan yang baik, yang mungkin dapat mengatasi
permasalahan ‘tebang butuh’ tersebut.
Permasalahan
yang timbul jika situasi ‘tebang butuh’ masih terjadi dalam hutan rakyat yang
telah tersertifikasi pengelolaan hutan lestari adalah tidak terimplementasi dengan baik rencana
pengelolaan yang sudah dibuat atau disepakati oleh pengelola, khususnya untuk
pencapaian target tebangan setiap tahunnya, sehingga akan berdampak pada pasar
yang membutuhkan permintaan kuantitas bahan baku kayu tertentu dari unit pengelolaan
hutan yang berpotensi terhadap pemenuhan standar sertifikasi pengelolaan hutan
lestari tersebut.
Di sisi
lain, pemilik skema sertifikasi beranggapan bahwa jika suatu unit pengelolaan
hutan telah tersertifikasi pengelolaan hutan lestari, maka diharapkan unit manajemen hutan diasumsikan telah
mengimplementasi secara penuh persyaratan standar, salah satunya yaitu pemenuhan
perencanaan target tebangan secara periodik yang terstruktur dengan baik sesuai
dengan rencana pengelolaan mereka, mengingat sertifikasi juga memerlukan
investasi yang tidak sedikit dari pengelola hutan dari aspek biaya, waktu, dan
tenaga.
Namun,
studi ilmiah mengenai hutan rakyat bersertifikat saat ini masih berfokus pada
masalah kelembagaan (misalnya, Yumi et al. 2012), dampak sertifikasi (misalnya,
Kazuhiro dkk. 2012, Harada 2014, Fujiwara et al. 2015).
Secara
umum, petani berpikir bahwa hutan sebagai aset jangka panjang dan akan dipanen
kayunya ketika ada kebutuhan (Hinrichs et al. 2008), dan tergantung pada
kondisi sosial ekonomi mereka (Fujiwara et al. 2017). Oleh karena itu, evaluasi
pemanenan kayu dalam pengelolaan hutan rakyat lestari diperlukan untuk menjawab
apakah target pemanenan kayu tahunan yang disepakati dapat dipenuhi ketika
sertifikasi hutan lestari sudah ada (misalnya skema FSC).
Memahami
tantangan implementasinya diperlukan untuk memenuhi permintaan bahan baku kayu
bulat ke industri kayu di masa depan.
Metode Penelitian
Tiga
hutan rakyat bersertifikat FSC di wilayah Jawa Timur (Enggal Mulyo, KSU KAM
KTI, KSU Bromo Mandiri KTI) dipilih sebagai lokasi penelitian. Pertama,
Enggal Mulyo memegang sertifikat FSC (SCS-FM/COC-005367) dengan masa berlaku
hingga 20 Oktober 2020, kemudian lokasi kedua, KSU KAM KTI memiliki kode
sertifikat FSC SAFM/COC-002083 berlaku hingga 21 Desember 2023, dan yang
terakhir, KSU Bromo Mandiri KTI, memiliki sertifikat FSC SA-FM/COC-005493
dengan masa berlaku hingga 03 Januari 2022.
ketiga hutan rakyat
tersebut memiliki ruang lingkup sertifikasi hutan yang berbeda.
Informasi
|
Enggal
Mulyo
|
KSU
KAM KTI
|
KSU
Bromo Mandiri KTI
|
Lokasi
|
Ponorogo
|
Probolinggo
|
Probolinggo
|
Tahun
berdiri
|
2010
|
2007
|
2015
|
Luasan
(ha)
|
620.93
|
1.004.55
|
460.32
|
Jenis
|
Pinus,
sengon, mahoni
|
Sengon,
gmelina, mindi, bayur, mahomi, anggrung, balsa, jabon
|
Gmelina,
sengon, jabon, balsa
|
Kelompok
Petani
|
14
|
30
|
10
|
Sertifikasi
hutan
|
FSC,
SVLK
|
FSC,
SVLK
|
FSC,
SVLK
|
Dukungan
|
Persepsi
|
PT
Kutai Timber Indonesia
|
PT
Kutai Timber Indonesia
|
Data primer dan sekunder dikumpulkan selama periode April – Oktober 2019. Data primer mencakup diskusi bersama perwakilan petani dan pengelola hutan, didukung dengan observasi lapangan. Daftar pertanyaan telah dibahas dan didiskusikan antara penulis dan pakar hutan rakyat di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.
Cara
ini digunakan untuk memahami motivasi petani menebang pohon mereka pada periode
waktu tertentu, dan bagaimana pengelola hutan merencanakan target panen tahunan
mereka. Observasi lapangan dalam kegiatan penebangan oleh masyarakat juga
dilakukan untuk menentukan potensi pohon yang dipanen.
Selain
itu, data sekunder (selama lima tahun terakhir) termasuk rencana pengelolaan
tahunan, aktual pemanenan kayu, dan laporan audit FSC, juga ditinjau untuk
mendukung evaluasi pemanenan kayu. Metode deskriptif digunakan dalam penelitian
ini.
Semua
data yang dikumpulkan (primer dan sekunder) dianalisis dan dijelaskan dengan
membandingkan volume dalam meter kubik antara aktual penebangan kayu tahunan
dan perencanaannya selama lima tahun terakhir. Microsoft Excel digunakan untuk
menyajikan tabel informatif. Catatan dari diskusi dan observasi lapangan
membantu untuk memahami isu-isu tentang realisasi kegiatan pemanenan kayu.
Hasil dan Pembahasan (Perencanaan Pemanenan Kayu)
Semua
hutan rakyat dalam penelitian ini (Enggal Mulyo, KSU KAM KTI, KSU Bromo Mandiri
KTI) menggunakan data inventarisasi pohon untuk semua anggota sebagai dasar
untuk menetapkan pemanenan kayu tahunan dalam rencana pengelolaan mereka.
Kriteria spesifik
keliling atau diameter pohon minimum mengacu pada prosedur operasional. Data inventaris
kemudian digunakan sebagai referensi untuk mengembangkan Jatah Tebang Tahunan
sebagai batas atau target pemanenan hasil hutan lestari untuk setiap jenis
dalam lingkup anggota.
Informasi
|
Enggal
Mulyo
|
KSU
KAM KTI
|
KSU
Bromo Mandiri KTI
|
Inventarisasi
setiap (tahun)
|
2
|
3
|
3
|
Keliling
pohon yang diinven
|
Min
30cm
|
Min
30cm
|
Min
30cm
|
Keliling
pohon yang ditebang
|
Min
40cm
|
Min
40cm
|
Min
40cm
|
Diameter
pohon yang ditebang
|
Min
15cm
|
Min
15cm
|
Min
15cm
|
Periode
rencana pengelolaan
|
2015-2020
|
2015-2034
|
2015-2034
|
Skema hutan rakyat lestari juga diprasyaratkan membuat rencana pengelolaan. Selain untuk memastikan berapa banyak kayu bulat yang dapat dipanen secara berkelanjutan melalui metode atau peralatan panen yang sesuai, target ini membantu pengelola hutan untuk memasok sejumlah kayu bulat ke industri kayu.
Kami
tidak dapat menemukan bahwa rencana pengelolaan, terutama rencana pemanenan
kayu, di ketiga hutan rakyat tersebut telah mempertimbangkan kebutuhan petani
di masa depan, misalnya perayaan atau sekolah. Dalam skema sertifikasi hutan
lestari, diharapkan bahwa rencana pemanenan yang disepakati harus dilaksanakan
untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan berkelanjutan (Hinrichs et al. 2008).
Pengembangan
hutan rakyat lestari tentu tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Lembaga
swadaya masyarakat (LSM) adalah salah satu pendukung yang membantu membangun
dan membantu teknik pengelolaan hutan (termasuk rencana pemanenan kayu
tahunan), termasuk mempromosikan produk lestari dari hutan (Hinrichs et al. 2008),
selain dari industri perkayuan sebagai hilirisasi dari proses pengolahan kayu
bulat.
Persepsi
adalah LSM lingkungan yang mendukung di Enggal Mulyo, sementara itu PT. Kutai
Timber Indonesia berkontribusi penuh dalam merintis pengelolaan hutan di KSU KAM
KTI dan KSU Bromo Mandiri KTI di Probolinggo.
Salah
satu tantangan dalam hutan rakyat, petani sebagai pemilik tanah memiliki hak
penuh untuk mengelola tanah mereka sendiri yang dapat mempengaruhi pelaksanaan
sertifikasi hutan dalam suatu kelompok. Meskipun pengelola hutan mendukung
petani mereka, setiap anggota lebih sering dapat memutuskan sendiri dalam praktik
pengelolaan hutan, misalnya, periode panen kayu.
Semua
kepentingan petani atau rencana masa depan (seperti sekolah, perkawinan,
perayaan) perlu diinventarisasi atau diakomodasikan untuk menyempurnakan
pembuatan rencana panen tahunan.
Evaluasi Aktual Pemanen Kayu
Pelaksanaan
operasi pemanenan kayu di ketiga hutan rakyat tersertifikasi tersebut dilakukan
berdasarkan prosedur rencana pemanenan. Di Enggal Mulyo, tim pemanen akan
segera mengangkut kayu ke pengumpulan kayu setelah menebangnya dengan
menggunakan gergaji mesin.
Realisasi
pemanenan kayu dapat berfluktuasi setiap tahun tergantung pada permintaan pasar
dan juga kebutuhan petani pada saat itu. Karena itu, target panen tahunan
seluruhnya tidak dapat tercapai. Sementara di KSU KAM KTI dan KSU Bromo Mandiri
KTI, juga tidak berbeda dari Enggal Mulyo dimana tidak ada target penebangan
tahunan yang dicapai sejak 2014.
Tabel Rencana dan
realisasi pemanenan kayu di Enggal Mulyo tahun 2014 – 2018
Tahun
|
Jenis
|
Rencana Pemanenan (m3)
|
Realisasi Pemanenan (m3)
|
2018
|
Pinus
Sengon
Mahoni
|
3.068,63
733,4
450,03
|
*)
*)
*)
|
2017
|
Pinus
Sengon
Mahoni
|
3.068,63
733,4
450,03
|
*)
*)
*)
|
2016
|
Pinus
Sengon
Mahoni
|
3.068,63
733,4
450,03
|
203,1
364,7
0
|
2015
|
Pinus
Sengon
Mahoni
|
3.068,63
733,4
450,03
|
203,1
364,7
0
|
2014
|
Pinus
Sengon
Mahoni
|
3.068,63
733,4
450,03
|
*)
*)
*)
|
*) Tidak ada data
Tabel Rencana dan
realisasi pemanenan kayu di KSU KAM KTI tahun 2014 – 2018
Tahun
|
Jenis
|
Rencana Pemanenan (m3)
|
Realisasi Pemanenan (m3)
|
2018
|
Sengon
Balsa
Jabon
Gmelina
|
15.000,58
241,16
1.229,49
368,40
|
9.984,03
0
0
0
|
2017
|
Sengon
Balsa
Jabon
Gmelina
|
12.143,60
1.934,10
3.588,40
348,0
|
7.176,31
0
0
0
|
2016
|
Sengon
Balsa
Jabon
Gmelina
|
10.372,55
1.934,76
1.440,00
348,00
|
5.735,16
0
0
0
|
2015
|
Sengon
Balsa
Jabon
Gmelina
|
10.369,50
1.935,40
1.440,00
347,22
|
7.833,71
0
0
0
|
2014
|
Sengon
Balsa
Jabon
Gmelina
|
10.373,40
1.933,02
1.430,63
347,99
|
9.144,11
0
0
0
|
Tabel Rencana dan realisasi pemanenan kayu di KSU Bromo Mandiri KTI tahun 2015 – 2018
Tahun
|
Jenis
|
Rencana Pemanenan (m3)
|
Realisasi Pemanenan (m3)
|
2018
|
Sengon
Balsa
Jabon
Gmelina
|
5.631,12
504,00
753,30
360,00
|
3.545,67
0
0
0
|
2017
|
Sengon
Balsa
Jabon
Gmelina
|
4553,22
248,00
362,63
354,17
|
1.179,75
0
0
0
|
2016
|
Sengon
Balsa
Jabon
Gmelina
|
2.531,04
55,19
350,46
341,44
|
0
0
0
0
|
2015
|
Sengon
Balsa
Jabon
Gmelina
|
559,26
15,25
175,53
104,63
|
0
0
0
0
|
Berdasarkan catatan realisasi pemanenan kayu periode 2014-2018 di semua hutan rakyat bersertifikat, tampaknya sulit bagi mereka untuk mencapai rencana atau target tahunan pemanenan kayu. Prosedur pembatasan lingkar dan diameter pohon minimum telah dilaksanakan dengan baik oleh ketiga unit manajemen hutan.
Pengelolaan
tegakan umumnya dilakukan dengan tebang pilih karena petani meninggalkan
beberapa tegakan untuk kebutuhan masa depan (Hamdani et al. 2015). Evaluasi
produksi aktual dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa produksi log
mayoritas masih di bawah target tahunan.
Penghasilan
dari pohon adalah alternatif terakhir untuk mendapatkan uang sebelum keputusan
penebangan dibuat oleh petani. Berbagai motivasi petani untuk menebang pohon
memenuhi kebutuhan mendesak mereka, seperti renovasi rumah, biaya kuliah,
perayaan (Hamdani et al. 2015).
Penjualan
tanaman pangan atau ternak (seperti, sapi, kambing, atau ayam) umumnya dapat
dipilih terlebih dahulu sebelum menebang pohon (Hinrichs et al. 2008).
Sertifikasi hutan dapat bermanfaat bagi petani, namun masalah keberlanjutan
produktivitas menjadi tantangan dalam pengelolaan hutan.
Maryudi
et al. (2017) menyatakan bahwa memahami praktik pengelolaan hutan yang lebih
baik adalah satu hal yang penting, tetapi biaya sertifikasi yang tinggi merupakan
pertimbangan lain untuk mempertahankan pengakuan skema hutan. Beberapa petani
tidak hanya bergantung pada pemanenan kayu, tetapi juga mereka mengelola
pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, seperti pertanian,
peternakan.
Hutan
Rakyat Lestari Bersertifikat FSC Hasil kami menunjukkan bahwa permasalahan
tebang butuh ataupun tunda masih terjadi meskipun sudah ada rencana pengelolaan
hutan yang komprehensif di hutan rakyat bersertifikat.
Tantangan
dalam sertifikasi hutan juga dihadapi oleh petani dan pengelola hutan untuk
mempertahankan sertifikasi hutan, seperti rendahnya anggaran untuk mengelola
kebutuhan panen, kemudahan administrasi pemanenan kayu dan kegiatan
transportasi antara koperasi atau pengepul, metode pembayaran antara kayu
bersertifikat FSC dan kayu non-sertifikasi yang lebih mudah dilakukan oleh pedagang
atau pengepul (Triple Line Consulting 2005, Hinrichs dkk. 2008, Wiyono dkk.
2018).
Sebaliknya,
jika petani hutan rakyat lestari mampu mengatasi permasalahan tebang butuh atau
tunda dalam pengelolaan hutan mereka sesuai dengan rencana pengelolaan yang
telah dibuat atau disepakati, maka konsumen pengguna bahan baku kayu (misalnya
industri perkayuan) akan mendapatkan kepastian atau kejelasan kuantitas pasokan
bahan baku secara berkala yang dapat menguntungkan petani hutan rakyat untuk
dapat memproduksi kayu secara berkesinambungan tanpa memperhatikan adanya
kebutuhan internal petani tersebut.
Petani
yang selama ini menjadikan kayu sebagai investasi jangka panjang perlu merubah
paradigma pengelolaan keuangan yang lebih baik tidak hanya menggantungkan pada
situasi saat terjadinya tebang butuh atau tunda tersebut, tanpa mengganggu pemenuhan persyaratan standar
sertifikasi yang telah ditetapkan.
Log
yang bersertifikat umumnya harganya lebih tinggi daripada log yang tidak
bersertifikat. Maryudi et al. (2017) menjelaskan setidaknya 15-35% diperoleh
untuk kayu yang dianggap dari pengelolaan hutan lestari. Dengan insentif ini,
petani anggota diharapkan dapat mengikuti peraturan yang dibuat oleh pengelola
hutan tentang rencana pemanenan hasil hutan.
Harga
kayu bulat ditentukan secara berkala untuk para anggotanya dengan informasi
yang transparan dan mudah diakses. Namun, kondisinya tidak segera memotivasi
anggota untuk menjual kayu mereka ke koperasi karena beberapa masalah
administrasi yang memerlukan beberapa hari untuk diproses, termasuk
memverifikasi jumlah dan kualitas kayu.
Situasi
ini perlu dipantau oleh pengelola hutan untuk menghindari dampak pada
sertifikasi hutan mereka. Selain itu, pemilik skema FSC harus mempertimbangkan
dalam standar mereka bahwa keberlanjutan tidak dapat dicapai melalui pemenuhan
rencana pemanenan kayu tahunan berdasarkan rencana pengelolaan yang disepakati
dalam sertifikasi hutan.
Kesimpulan
Hutan
rakyat yang bersertifikat harus menyiapkan rencana pengelolaan yang
komprehensif, termasuk rencana pemanenan tahunan. Inventarisasi hutan dilakukan
untuk semua petani anggota untuk mengidentifikasi potensi pohon yang dipanen
berdasarkan minimum keliling atau diameter pohon.
Kemudian,
potongan tahunan yang diizinkan digunakan sebagai referensi untuk mencapai
tujuan keberlanjutan dalam hal produksi. Tiga kasus pemanenan aktual
ditunjukkan di Enggal Mulyo, KSU KAM KTI dan KSU Bromo Mandiri KTI yang
menunjukkan hutan rakyat masih tampak kesulitan untuk mencapai target panen
tahunan karena kurangnya implementasi pada rencana pengelolaan hutan yang
disepakati, termasuk motivasi petani.
Sebagai
tabungan terakhir, kayu hanya ditebang oleh petani untuk kebutuhan mendesak,
seperti perayaan (hajatan), biaya sekolah. Situasi ini berdampak pada penundaan atau bahkan
menebang pohon lebih awal, akibatnya target panen gagal tercapai.
Peran
rencana pemanenan kayu dalam sertifikasi hutan adalah penting. Informasi
tentang data inventarisasi pohon tampaknya tidak cukup untuk membuat target
pemanenan dalam pengelolaan hutan terpenuhi. Pengumpulan data tambahan
informasi tentang kebutuhan petani di masa depan dapat mendukung pembentukan
rencana panen untuk mencapai targetnya.
Komitmen
yang kuat dalam mengimplementasikan rencana pemanenan yang disepakati antara petani
dan pengelola hutan juga diperlukan untuk mencapai hutan kemasyarakatan yang
berkelanjutan, agar dapat secara berkala memasok bahan baku ke industri kayu.
Perubahan
yang perlu dilakukan oleh petani atau pengelola hutan rakyat lestari untuk
mengatasi permasalahan tebang butuh atau tebang tunda serta meningkatkan
produktivitas bahan baku kayu yaitu :
- Membuat perencanaan tebangan sesuai kondisi aktual dari petani atau anggotanya dengan tidak hanya mempertimbangkan hasil inventarisasi pohon, namun juga mempertimbangkan kebutuhan petani di masa yang akan datang melalui wawancara
- Melakukan sosialisasi atau diskusi secara berkala kepada petani atau anggota mengenai implementasi rencana pengelolaan yang sudah dibuat dan disepakati bersama agar target tebangan dapat terpenuhi
- Pengelola hutan rakyat lestari juga perlu mendorong atau memotivasi petani anggotanya untuk melakukan pencampuran tanaman berkayu dengan komoditas lainnya yang berpotensi sebagai investasi di masa yang akan datang, seperti tanaman berumbi yang bernilai ekonomi tinggi (contoh Porang), hewan ternak yang bernilai jual tinggi (contoh Sapi), atau dikombinasikan dengan perikanan dalam areal hutan.
Jika
salah satu usulan kegiatan tersebut dapat dilakukan oleh petani anggota, maka
pemenuhan standar sertifikasi mengenai keberlangsungan produktivitas hasil
hutan yang lestari akan terus terjaga dengan baik.
Daftar Pustaka
Astana
S, Obidzinski K, Riva Wf, Hardiyanto G, Komarudin H & Sukanda. 2014.
Implikasi biaya dan manfaat pelaksanaan SVLK terhadap sektor perkayuan skala
kecil. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 11:175-198.
BPKH.
2009. Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990-2008.
Kerjasama BPKH XI dengan MFP II. Yogyakarta.
Darusman
D, & Hardjanto. 2006. Tinjauan ekonomi hutan rakyat. Prosiding Seminar
Hasil Penelitian Puslitbang Hasil Hutan. Bogor Indonesia.
FAO.
1990. Situation and Outlook of the Forestry Sector in Indonesia. Volume 2.
Rome, Italy: Forest Resource Base.
FSC.
2016. FSC Global Strategic Plan 2015–2020. 19 December 2016.
https://ic.fsc.org/preview.global-strategic-plan-2015-2020-english.a-5093.pdf.
FSC.
2018. Public Certificate. 28 February 2018.
https://info.fsc.org/certificate.php#result.
Fujiwara
T, Awang SA, Widayanti WT, Septiana RM, Hyakumura , Sato N. 2015. Effects of
national community-based forest certification on forest management and timber
marketing: A case study of Gunung Kidul, Yogyakarta,
Indonesia. International Forestry Review 17:448-460.
Fujiwara
T, Awang SA, Widayanti WT, Septiana RM, Hyakumura K, Sato N. 2017.
Socioeconomic conditions affecting smallholder timber management in Gunungkidul
District, Yogyakarta Special Region, Indonesia. Journal of Smallscale
Forestry 17:41-56.
Hamdani
FAU, Darusman D, Tiryana T. 2015. Evaluasi praktik tebang butuh di hutan rakyat
Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat. Jurnal Risalah Kebijakan Pertanian
dan Lingkungan 2:33-41.
Hinrichs
A, Muhtaman Dr & Irianto N. 2008. Sertifikasi hutan rakyat di Indonesia.
Jakarta, Indonesia: Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammernarbeit (GTZ).
Kazuhiro
H, Rohman, Oktalina SN, Wiyono. 2012. Exploring potential of forest
certification for community-based forest management in Indonesia. Journal
of forest economics 58:58-67.
Kazuhiro
H, Wiyono. 2014. Certification of a community-based forest enterprise for
improving institutional management and household income: A case from Southeast
Sulawesi, Indonesia. Journal of Small-scale Forestry 13:47–64.
Maryudi
A. 2009. Forest certification for community-based forest management in Indonesia:
Does LEI provide a credible option? IGES. Japan.
Muhtaman
DR, Prasetyo FA. 2006. Forest certification in Indonesia, in: Cashore B, Gale
F, Meidinger E, Newsom D (eds.). Confronting sustainability: Forest
certification in developing and transitioning countries. Yale School of
Forestry & Environmental Studies, New Haven.
Nugroho
B, Tiryana T. 2013. Implication of the private property right to the community
forest businesses formalization through the certification policy. Jurnal
Manajemen Hutan Tropika 29:178-186.
Simon
H. 2010. Dinamika Hutan Rakyat di Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Yumi,
Sumardjo, Gani DS, Sugihen BG. 2012. Kelembagaan pendukung pembelajaran petani
dalam pengelolaan hutan rakyat lestari. Jurnal Penyuluhan 8:15-28.
Sumber:
Evaluasi Produktivitas Kayu dalam Pengelolaan Hutan Rakyat
Lestari
Skema Forest Stewardship Council di Jawa Timur
Skema Forest Stewardship Council di Jawa Timur
Penyusun: Hermudananto, Nunuk Supriyanto
Jurusan
Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada.
https://pediailmu.com/kehutanan/evaluasi-produktivitas-kayu-dalam-pengelolaan-hutan-rakyat-lestari-skema-forest-stewardship-council-di-jawa-timur/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar