Saya bertugas mendampingi pengelolaan hutan berbasis masyarakat lestari dengan pola wanatani dan Perhutanan Sosial (PS) terintegrasi melalui Kelompok Tani Hutan (KTH) yang berada di dalam dan luar kawasan hutan yang responsif gender berhasil dalam kelola lembaga, kelola kawasan dan kelola usaha serta lestari secara ekonomi, sosial dan ekologi di Kecamatan Ngrayun Kabupaten Ponorogo dengan memenuhi standar sertifikasi hutan lestari.
Senin, 12 Desember 2016
Minggu, 23 Oktober 2016
Rabu, 20 April 2016
Sertifikat PHBML Skema FSC FMU Enggal Mulyo
Forest Management Unit Enggal Mulyo Desa Mrayan Kecamatan Ngrayun Kabupaten Ponorogo adalah pengelola Hutan Rakyat yang berkomitmen dalam pengelolaan secara lestari, sebagai salah satu acuan untuk pengelolaannya menggunakan salah satu skema sertifikasi internasional yaitu FSC (Forest Stewardship Council). FMU Enggal Mulyo selalu mencoba dan berjuang untuk LEBIH dari SEKEDAR meraih sertifikasi. Karena sertifikasi adalah sebatas alat (tools) untuk pengelolaan hutan lebih baik
Rabu, 10 Februari 2016
SOLUSI PENYULUH PASCA UU. 23/2014
Terbitnya Undang-undang No. 23
tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengubah peta pembagian
kewenangan antara pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
Termasuk yang ikut berubah adalah untuk urusan bidang kehutanan, di mana
penyelenggaraan penyuluhan termasuk di dalamnya.
Kewenangan urusan penyuluhan kini hanya
menjadi milik Pemerintah Pusat dan Provinsi, yang menjadikannya semakin
jauh dari masyarakat di lapangan — sang target penyuluhan. Kalau sudah
begini, target-target pembangunan kehutanan yang sangat berhubungan
perwujudan Nawa Cita Joko Widodo bisa terpengaruh.
Untuk itu, perlu ada solusi segera agar
penyelenggaraaan penyuluhan tetap efektif. Bagaimana? Kepala Badan
Penyuluhan dan Pengembangan SDM (BP2SDM) Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, Bambang Soepijanto memaparkan sejumlah
usulan. Intinya, penyuluhan kehutanan tetap bisa dilakukan di tingkat
Kabupaten/Kota dengan memberikan tugas pembantuan dari Pusat.
Bagaimana persisnya penyelenggaraan
penyuluhan paska UU No 23 tahun 20014 dan memastikan selalu tetap
efektif, berikut petikan wawancara dengan doktor jebolan Universitas
Brawijaya ini:
UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan
Daerah sudah setahun usianya. Apakah ada pengaruhnya untuk Kementerian
LHK, khususnya untuk kegiatan penyuluhan kehutanan?
Tentu ada pengaruhnya. Berdasarkan UU
itu, penyelenggaraan penyuluhan kehutanan kini ditarik ke Pusat, paling
jauh ke Provinsi. Ada enam sub urusan kehutanan yang kini konkuren hanya
antara Pusat dan Provinsi. Kabupaten/Kota tidak lagi punya kewenangan.
Sub urusan itu adalah perencanaan hutan, pengelolaan hutan, konservasi
SDA hayati dan ekosistemnya, pengelolaan DAS, pengawasan kehutanan, dan
pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat di
bidang kehutanan.
Jadi, berdasarkan UU tersebut, lembaga
yang menyelenggarakan penyuluhan di Kabupaten/Kota, yaitu Badan
Pelaksana Penyuluhan (Bapeluh), akan kehilangan kewenangannya untuk
urusan kehutanan.
Ini membuat penyelenggaraan penyuluhan
semakin jauh rentang kendalinya. Jadi, pasti berdampak pada
keberhasilannya. Dan tentu saja akan berdampak pada keberhasilan
program-program kehutanan.
Bukankah penyelenggaraan penyuluhan
kehutanan ada UU-nya sendiri seperti diatur pada UU No. 16 tahun 2004?
Di situ kan jelas soal eksistensi Bapeluh?
Benar. Tapi ada paradoks antara UU No.
16 tahun 2004 dengan UU No. 23 tahun 2014. Berdasarkan UU No. 16/2004,
memang dimandatkan adanya penyelenggaraan penyuluhan kehutanan hingga
Kabupaten. Tapi di UU No. 23/2014, kewenangan pengurusan sektor
kehutanan hanya sampai Provinsi. Di Kabupaten tidak ada kamarnya.
Sebenarnya, kalau Kabupaten tidak merasa
rugi dan dia mau, biarkan saja Bapeluh tetap hidup. Tapi harus diingat,
prinsip pembiayaan anggaran pemerintah adalah money follow function. Nah, kalau fungsi Bapeluhnya sudah tidak ada, tidak mungkin juga APBD bisa membiayai.
Harus dipahami juga, dalam UU No. 23
tahun 2014 seluruh urusan bidang perikanan ditarik ke Pusat. Sementara
untuk penyelenggaraan penyuluhan pertanian harus didukung oleh peraturan
presiden. Dalam UU tersebut, urusan-urusan yang tidak dinyatakan, maka
pelaksanaannya menunggu peraturan presiden. Nah, urusan pertanian
termasuk yang tidak dinyatakan.
Lantas bagaimana agar tetap bisa berjalan efektif dengan situasi tersebut?
Agar Bapeluh tetap hidup, kami tawarkan
agar bersedia ditempelkan untuk urusan penyuluhan lingkungan hidup.
Berdasarkan UU No. 23 tahun 2014, penyelenggaraan urusan lingkungan
hidup memang masih konkuren Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota.
Bapeluh nantinya bisa melakukan tugas
pembantuan untuk penyuluhan kehutanan. Ini bisa dilakukan sambil
menunggu kepastian lebih lanjut dari perpres yang mengatur urusan
pertanian.
Ini memang masih ide, kami akan minta
pendapat dari Bapeluh, Badan Koordinator Penyuluhan (bakorluh), dan
dinas kehutanan untuk mencari solusi ini. Kami juga minta masukan dari
pihak-pihak terkait lainnya termasuk menteri Koordinator bidang
Perekonomian, sebagai Koordinator Nasional Penyuluhan. Pastinya, perlu
ada solusi agar penyelenggaraan penyuluhan bisa tetap efektif.
Selain soal kelembagaan penyuluhan, langkah apa yang sudah diambil paska terbitnya UU 23/2014?
Kami sedang melakukan proses untuk
mengubah status penyuluhan kehutanan menjadi pegawai pusat. Selama ini
mereka tercatat sebagai pegawai daerah. Oleh karena itu, kami sudah
berkomunikasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi dan Badan Kepegawaian Nasional. Adanya UU Aparatur
Sipil Negara ikut memudahkan proses tersebut.
Kalau begitu, nanti pegawai Pusat makin banyak dong? Apakah tidak menambah beban anggaran?
Oh tentu tidak. Jumlah pegawai memang
bertambah cukup banyak, sekitar 4.000-an. Tapi tidak masalah. Anggaran
untuk gaji pegawai kan disalurkan lewat DAU sesuai jumlah personel di
daerah. Jadi, begitu status pegawai ditarik ke Jakarta, DAU-nya tiggal
ditarik juga ke Pusat.
Tidak akan menambah beban anggaran. Ini zero sum game, hanya kantong kiri kantong kanan.
Penyuluh bisa saja nantinya di BKO ke
Provinsi. Tapi gaji tetap dari Pusat. Kalau nanti ada tambahan apa-apa
dari daerah, bisa saja.
Bagaimana situasi yang berkembang di lapangan saat ini dengan adanya UU No. 23/2014 itu?
Sebenarnya bisa dengan mudah ditangkap
adanya kekhawatiran, ada ketidakpastian karena kekosongan kewenangan
daerah Kabupaten/Kota. Mereka ragu, Pusat tidak bisa memfasilitasi.
Akhirnya bisa saja urusan penyuluhan kehutanan tidak dilakukan. Termasuk
urusan bidang kehutanan lainnya.
Penyelenggaraan penyuluhan ini jangan
dianggap main-main loh, karena terkait dengan SDM. Jadi, persoalan ini
jangan disederhanakan.
Kalau begitu, pasti ada pengaruhnya ke penyerapan anggaran dong?
Tentu. Kami masih perhitungkan saat ini
bagaimana dampaknya dan antisipasinya. Pembagian kewenangan ini kan
terkait juga kucuran Dana Dekonsentrasi (Dekon) dan Dana Alokasi Khusus
(DAK) ke daerah.
Dana Dekonsentrasi sendiri hanya bisa
dimanfaatkan untuk belanja yang sifatnya program, misalnya monitoring
dan evaluasi penyuluhan. Sementara Dana DAK bisa dimanfaatkan untuk
kegiatan yang bersifat fisik. Hanya saja, DAK itu adalah pembiayaan
pemerintah atas kewenangan pemerintah daerah. Kalau bukan kewenangan
daerah, tentu tak bisa dibiayai DAK. Sugiharto
PASCA BERLAKUNYA UU 23/2014, KEMENTRIAN LHK TAWARKAN SOLUSI
http://agroindonesia.co.id/index.php/2015/10/20/pasca-berlakunya-uu-232014-kementerian-lhk-tawarkan-solusi/
Pengesahan Undang-undang No. 23
tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ternyata membuat bingung
pemerintah daerah, terutama Kabupaten/Kota. Selain belum adanya aturan
turunan, meski UU sudah berumur satu tahun, yang paling meresahkan
adalah hilangnya kewenangan, termasuk urusan kehutanan yang kini
dipegang Pemerintah Pusat.
Keresahan itu yang kini dialami aparat
pemerintah daerah, khususnya pemerintah Kabupaten/Kota. Di bidang
kehutanan, misalnya. Dari seluruh enam sub urusan bidang kehutanan,
kecuali konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, kewenangan
pemerintah kabupaten hilang. Lima sub urusan lainnya, pembagiannya hanya
sampai pemerintah provinsi. Bahkan untuk urusan perencanaan hutan dan
pengawasan kehutanan diambil penuh oleh pusat.
Dibetotnya kewenangan kabupaten/kota ke
pusat dan provinsi ini yang memicu keresahan. Maklum, yang hilang bukan
sekadar otoritas. Ada lembaga yang sudah terbentuk dan ada tenaga kerja
di sana. Bicara tenaga kerja, ada ribuan orang yang terlibat.
Penyuluhan, contohnya. Berdasarkan amanat UU No. 16/2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K), di tingkat
Kabupaten/Kota dibentuk Badan Pelaksana Penyuluhan (Bapeluh). Nah,
sampai kini, sudah 463 Bapeluh dibentuk di seluruh Indonesia.
Jadi, bisa dibayangkan jumlah tenaga
yang terlibat. Itu sebabnya, Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber
Daya Manusia (BP2SDM), Kementerian LHK bersikap tanggap. Selain harus
menjawab keresahan ribuan tenaga penyuluh, hilangnya Bapeluh bisa
mengancam program kehutanan di lapangan. “Penyelenggaraan penyuluhan
jangan dianggap main-main, karena terkait dengan SDM serta keberhasilan
program-program kehutanan. UU No. 23/2014 membuat Bapeluh kehilangan
wewenang untuk urusan hutan,” ujar Kepala BP2SDM Kementerian LHK,
Bambang Soepijanto di Jakarta, Kamis (15/10/2015).
Loh, bagaimana UU No.16/2006
yang mengamanatkan pembentukan lembaga itu? Inilah paradoks antara UU
16/2016 dengan UU 23/2014. Meski ada Bapeluh, tapi kewenangan untuk
urusan hutan hanya sampai Provinsi. Apalagi, prinsip anggaran pemerintah
adalah money follow function. “Jika fungsi Bapeluh sudah tak ada, tidak mungkin APBD bisa membiayai,” paparnya.
Bambang mengaku bukan tidak ada solusi
untuk menjawab keresahan tersebut. Salah satunya dengan membagi Bapeluh
kewenangan urusan penyuluhan lingkungan hidup, yang masih ada dalam UU
No. 23/2014. Artinya, Bapeluh “ditempelkan” untuk urusan penyuluhan
lingkungan hidup dan tugasnya adalah pembantuan penyuluhan kehutanan.
Ide ini yang nampaknya akan disampaikan dalam rapat koordinasi
penyuluhan yang dilakukan Kamis (22/10/2015) pekan ini, selain sejumlah
persoalan lainnya.
Sikap tanggap mencari solusi ini memang
perlu karena berlakunya UU No.23/2014 ternyata menimbulkan kebingungan
dan keresahan di daerah. Bukan hanya urusan penyuluhan, sebetulnya, tapi
banyak urusan kehutanan lainnya di mana kewenangan Kabupaten/Kota
ditarik ke pusat. AI
MEMBACA KERESAHAN PENYULUH
http://agroindonesia.co.id/wp-content/uploads/2015/10/penyuluhan-lmdh-madyo-laras.jpg
Penyelenggara penyuluhan di
Kabupaten/Kota saat ini sedang resah dan kebingungan. Jika menggunakan
bahasa gaul, mereka sedang “galau tingkat dewa”. Penyebabnya tak lain UU
No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Terbitnya UU No. 23 tahun 2014 ternyata
membuat hilangnya kewenangan untuk urusan bidang kehutanan. Yang hilang
bahkan seluruh urusan bidang kehutanan. Situasi ini dikhawatirkan
membuat kegiatan penyuluhan menjadi terabaikan. Padahal, banyak juga
pemerintah Kabupaten/Kota yang memiliki komitmen untuk penyelenggaraan
penyuluhan, mengingat perannya yang sangat vital.
Kepala Badan Pelaksana Penyuluhan dan
Ketahanan Pangan (BP2KP) Kabupaten Cilacap, Susilan, misalnya. Dia
mengaku saat ini pihaknya sedang gelisah. Hilangnya kewenangan
penyelenggaraan penyuluhan kehutanan dikhawatirkan bakal mempengaruhi
efektivitas kegiatan penyuluhan di lapangan. “Dengan rentang kendali
yang semakin jauh, tentu tantangan kegiatan penyuluhan kehutanan semakin
sulit,” katanya.
Susilan mengungkapkan, optimisme
kegiatan penyuluhan kehutanan akan semakin baik dan coba dibangun pasca
terbitnya UU No 23 tahun 2014. Namun, realitasnya hal itu sangat sulit
dilakukan. Berbagai urusan terkait kegiatan penyuluhan, seperti
administrasi, penyediaan sarana dan prasana, dan hal terkait lainnya
akan lebih mudah dilakukan jika penyelenggara kegiatan dekat dengan
penyuluh dan target penyuluhannya.
Susilan pun mengaku khawatir dengan masa
depan program pengembangan hutan rakyat, pemberdayaan masyarakat di
sekitar hutan, dan program kehutanan lainnya. Penyelenggaraan penyuluhan
yang tidak efektif dipastikan akan mengancam keberhasilan
program-program prioritas tersebut. “Hutan di Cilacap cukup luas dan
butuh penanganan. Jika tidak akan terancam kritis,” katanya.
Saat ini jumlah penyuluh kehutanan di
BP2KP Kabupaten Cilacap mencapai 45 orang. Selain itu juga tercatat 81
penyuluh pertanian, 84 Tenaga Harian Lepas-Tenaga Bantu Penyuluh
Pertanian, dan 13 orang penyuluh perikanan.
Menurut Susilan, jumlah penyuluh yang
ada saat ini sesungguhnya pas-pasan. Dia khawatir formasi penyuluh yang
ada bakal berubah jika pemerintah provinsi melakukan mutasi jabatan.
Dia makin galau karena berdasarkan UU
No. 23 tahun 2014, kewenangan penyelenggaraan penyuluhan di sektor lain
juga tak jelas. Untuk penyelenggaraan penyuluhan perikanan ditarik
sepenuhnya ke Pusat. Sementara penyelenggaraan penyuluhan pertanian
masih menunggu kejelasan lebih lanjut yang bakal diatur dalam peraturan
presiden (Perpres).
“Kami harap UU No. 23 tahun 2014 bisa
segera direvisi. Urusan penyelenggaran penyuluhan terlalu kecil jika
harus diatur dari pusat secara langsung,” katanya.
Perpres segera terbit
Wajar memang jika ada harapan agar UU
Pemerintahan Daerah direvisi kembali. Apalagi, akibat UU tersebut,
Bapeluh kini kehilangan kewenangan urusan bidang kehutanan. Bahkan, tak
cuma itu. Bapeluh juga kehilangan kewenangan urusan bidang perikanan
yang ditarik sepenuhnya ke Pusat.
Eksistensi Bapeluh juga makin tidak
jelas. Kewenangan urusan bidang Pertanian pun masih belum diatur secara
tegas, sebab masih menunggu terbitnya peraturan presiden sesuai amanat
UU Pemerintahan Daerah.
Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan
SDM Kementerian Pertanian, Pending Dadih Pernana menyatakan, saat ini
pihaknya masih menunggu terbitnya peraturan presiden (Perpres) yang
mengatur peta kewenangan tentang konkurensi.
Dia mengatakan, draft perpres sudah
tuntas dan sedang difinalisasi di Kementerian Dalam Negeri.
“Mudah-mudahan dalam waktu dekat sudah bisa terbit,” katanya.
Dia menjelaskan, dalam perpres itu
nantinya akan mengatur hal-hal subtantif yang merupakan amanat dari
Undang-undang No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan. Termasuk di dalamnya adalah kebijakan strategi,
pembinaan dan pengawasan, kelembagaan, ketenagakerjaan, dan
pelaksanaan.
Harapan
Di tengah kondisi galau akibat dampak UU
Pemerintahan Daerah, ada optimisme yang coba dibangun oleh para
penyuluh kehutanan. Mereka berharap kegiatan penyuluhan bakal makin
diperhatikan. Dampaknya, penyelenggaraan urusan penyuluhan pun bakal
makin efektif.
Berti, penyuluh kehutanan dari Biak
Numfor, Papua menyatakan, saat ini perhatian yang diterima penyuluh dan
kegiatan penyuluhan kehutanan sangat minim. “Jadi, kami mohon agar
diperhatikan mengingat pentingnya kegiatan penyuluhan,” katanya.
Dia menuturkan, jumlah penyuluh
kehutanan di Biak Numfor ada delapan orang. Terkesan banyak. Namun,
dengan luas wilayah kerja yang terdiri atas 19 kecamatan dan 250
kampung, petugas tersebut sangatlah minim. Luas daratan Kabupaten Biak
Numfor sendiri sekitar 3.000 km2.
“Biak Numfor ini kepulauan. Jadi, banyak lokasi yang sulit dijangkau,” kata Berti.
Harapan positif juga dinyatakan
Nurhayadi, penyuluh dari Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Penyuluh
pemenang pertama penghargan Wana Lestari 2015 itu menyatakan, dengan
ditariknya penyelenggaraan penyuluhan kehutanan ke Kementerian LHK, maka
kegiatan penyuluhan kehutanan akan lebih fokus.
Dia menuturkan, selama ini ada salah
kaprah dalam penyelanggaran penyuluhan, di mana seorang penyuluh
diharuskan memiliki kemampuan di lintas bidang pertanian, perikanan,
kehutanan. Hal itu membuat penyuluh tak fokus dengan bidang
pekerjaannya.
“Seseorang yang spesialis akan lebih baik, sehingga pekerjaannya pun berdampak kepada bidang lain,” katanya. Sugiharto
KETIKA KOMANDO PENYULUH KEMBALI KE PUSAT
Terbitnya Undang-undang No. 23
tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diharapkan bisa membenahi otonomi
daerah yang kebabalasan. Namun, undang-undang yang terbit di masa ‘injury time’
periode kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono itu ternyata menyisakan
PR besar yang mesti segera diselesaikan. Respons yang terlambat bisa
membuat banyak persoalan bangsa tak terpecahkan.
UU No. 23 tahun 2014 memang cukup
revolusioner. Bagaimana tidak. Kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota
untuk sejumlah urusan kini dibetot, terutama yang terkait sumber daya
alam. Salah satunya adalah kewenangan untuk urusan bidang kehutanan.
Berdasarkan UU tersebut, konkurensi
bidang kehutanan yang masih dibagi hingga pemerintah Kabupaten/Kota
hanyalah untuk Taman Hutan Rakyat (tahura). Itupun hanya untuk Tahura
yang seluruh wilayahnya berada di Kabupaten/Kota tersebut. Sementara
urusan bidang kehutanan lainnya menjadi kewenangan Pusat dan Provinsi.
Termasuk untuk urusan penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat.
Situasi ini sesungguhnya memicu
kekhawatiran. Maklum, penyelenggaraan urusan penyuluhan sejatinya tak
bisa jauh-jauh dari targetnya, yaitu masyarakat di lapangan. Semakin
jauh rentang kendali penyelenggaraan penyuluhan, dikhawatirkan membuat
pesan pembangunan yang disampaikan penyuluh menjadi bias. Dampaknya
tentu saja besar, melencengnya target-target pembangunan kehutanan.
“Untuk itu perlu ada solusi agar
penyelenggaraan tetap bisa berjalan efektif,” kata Kepala Badan
Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Bambang Soepijanto, di Jakarta, Kamis (15/10/2015).
Asal tahu saja, kegiatan penyuluhan yang
dilakukan di tingkat Kabupaten/Kota sangat bejibun. Sebut saja program
Kampanye Indonesia Menanam, Kampanye kecil Menanam Dewasa Memanen,
pendampingan kegiatan Kebun Bibit Rakyat, Hutan Rakyat, dan sejumlah
program penanaman lainnya. Program-program tersebut merupakan unggulan
Kementerian LHK dan menjadi bagian dari pencapaian target rehabilitasi
hutan dan lahan seluas 5 juta hektare (ha) pada periode 2015-2019.
Masih ada program pendampingan kelompok
usaha produktif dan peningkatan kapasitas SDM. Selain itu, banyak lagi
program-program yang merupakan perwujudan Nawa Cita yang sudah
dicanangkan Presiden Joko Widodo, di mana penyuluh menjadi ujung
tombaknya.
Perpres
Penyelenggaraan penyuluhan sebenarnya
punya payung hukum yang cukup kuat dengan UU No. 16 tahun 2006 tentang
Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K). Salah satu
amanat dari UU tersebut adalah dibentuknya Badan Pelaksana Penyuluhan
(Bapeluh) Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan di tingkat Kabupaten/Kota
untuk meningkatkan efektifitas rentang kendali kegiatan penyuluhan.
Hingga saat ini, tercatat ada 463 Bapeluh yang telah berdiri di kabupaten/kota seluruh Indonesia.
Persoalannya, ya itu tadi. Bapeluh kini
kehilangan kewenangan urusan bidang kehutanan. Bahkan, tak cuma itu.
Bapeluh juga kehilangan kewenangan urusan bidang perikanan yang ditarik
sepenuhnya ke Pusat.
Masa depan Bapeluh makin suram karena
kewenangan urusan bidang Pertanian pun masih belum jelas. Berdasarkan UU
Pemerintahan Daerah, kewenangan urusan bidang pertanian masih harus
menunggu terbitnya peraturan presiden. Hingga kini, setahun pasca
terbitnya UU Pemerintahan Daerah, belum ada sinyal peraturan presiden
tersebut bakal terbit.
Bambang menjelaskan, ada jalan keluar
agar kegiatan penyuluhan kehutanan tetap bisa berjalan efektif. “Caranya
adalah dengan membagi Bapeluh kewenangan urusan penyuluhan lingkungan
hidup,” katanya.
Berdasarkan UU 23/2014 tentang
Pemerintahan Daerah, sebanyak 11 urusan sub bidang lingkungan hidup
memang masih ditetapkan konkuren antara Pusat, Provinsi, dan kabupaten
Kota. Termasuk untuk urusan pelatihan dan penyuluhan lingkungan hidup
bagi masyarakat.
Dengan membagi kewenangan urusan
penyuluhan lingkungan hidup, maka Bapeluh masih bisa tetap eksis.
Apalagi, jika kemudian perpres pembagian urusan bidang pertanian juga
terbit. Selanjutnya, Bapeluh bisa mendapat Tugas Pembantuan dari Pusat
untuk melaksanakan penyuluhan kehutanan. Itu artinya, APBN dari pusat
bisa dikucurkan untuk tugas pembantuan tersebut.
Bambang menjelaskan, untuk memberikan
tugas pembantuan penyuluhan ke Kabupaten/Kota sebenarnya tidak mesti ke
Bapeluh. Bisa juga ke dinas yang mengurusi kehutanan. “Tapi kan sekarang
dinas di kabupaten/kota juga sudah tidak ada. Makanya Bapeluh perlu
tetap ada,” katanya.
Meski demikian, Bambang mengakui wacana
penyelamatan Bapeluh tersebut masih perlu dikomunikasikan dengan pihak
terkait. Dia menekankan, solusi apapun nantinya yang disiapkan,
tujuannya adalah mengefektifkan kegiatan penyuluhan di lapangan sehingga
target-target pembangunan bisa tercapai.
Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Siti Nurbaya menambahkan, saat ini tim teknis pada tingkat
eselon I lintas Kementerian terus bekerja untuk menyelaraskan hal-hal
terkait pembagian kewenangan antara Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota.
“Penyuluhan itu kan ada UU-nya sendiri. Saya kira tidak akan terlepas
dari UU penyuluhan itu,” katanya. Sugiharto
Lebih Mudah dengan Undang-undang ASN
Terbitnya UU No. 23 tahun 2014
tak bisa dipandang sederhana, khususnya untuk bidang kehutanan. Apalagi,
kementerian yang mengurusnya saat ini baru berbenah untuk struktur
organisasi pasca dibentuknya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan
SDM Kementerian LHK, Bambang Soepijanto menjelaskan, ada kekhasan pada
UU Pemerintahan Daerah, di mana tiga bidang disebut secara khusus untuk
konkurensinya hanya pada tingkat Pusat dan Provinsi. Bidang itu adalah
kehutanan, perikanan, dan energi sumber daya mineral.
Oleh karena itu, Bambang menjelaskan,
langkah yang telah diambilnya adalah berkomunikasi dengan Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Badan
Kepegawaian Negara untuk mengubah status penyuluh menjadi pegawai Pusat.
Proses tersebut bisa lebih mudah dengan adanya Undang-undang No 5 tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Hal itu dipastikan akan menambah jumlah
pegawai Pusat. Meski demikian, kata Bambang, hal itu tidak akan menambah
beban anggaran pemerintah pusat. Pasalnya, selama ini gaji para
penyuluh bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) dari pemerintah Pusat.
“Jadi, begitu status pegawainya ditarik ke Jakarta, anggaran gajinya
juga ditarik ke Pusat,” katanya.
Penyuluh juga bisa ditempatkan di
provinsi secara BKO (Bawah Kendali Operasional). Namun, gaji tetap
disalurkan oleh pemerintah pusat, meski untuk tambahan atau insentifnya
bisa dialokasikan oleh Provinsi.
Perubahan pembagian kewenangan seperti
diatur pada UU Pemerintahan Daerah dipastikan akan ikut menentukan besar
kecilnya serapan anggaran Kementerian LHK. Hal ini terkait dengan
kucuran Dana Dekonsentrasi (Dekon) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari
Kementerian LHK ke daerah.
Dana Dekonsentrasi sendiri hanya bisa
dimanfaatkan untuk belanja yang sifatnya program, misalnya monitoring
dan evaluasi penyuluhan. Sementara Dana DAK bisa dimanfaatkan untuk
kegiatan yang bersifat fisik. Hanya saja, DAK itu adalah pembiayaan
pemerintah atas kewenangan pemerintah daerah. “Kalau bukan kewenangan
daerah, tentu tak bisa dibiayai DAK,” kata Bambang.
Selain urusan penyuluhan, ada enam sub
urusan lagi yang kewenangannya kini hanya pada Pusat dan Provinsi. Yaitu
urusan perencanaan hutan, pengelolaan hutan, konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya, pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS),
dan pengawasan kehutanan. Sugiharto
Share This:
Related Posts
- Mengadili Kewenangan KehutananDari banyak UU yang ada di negeri ini, nampaknya UU No. 41 tahun 1999 tentang…
- Potensi Pelanggaran Anggaran di LHKDi tengah peringatan Presiden Joko Widodo kepada para menteri kabinetnya untuk fokus dan mengoptimalkan serapan…
- Babak Baru Kehutanan dan LingkunganKementerian Kehutanan memasuki babak baru di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi). Entah dengan alasan apa,…
Langganan:
Postingan (Atom)