Terbitnya Undang-undang No. 23
tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengubah peta pembagian
kewenangan antara pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
Termasuk yang ikut berubah adalah untuk urusan bidang kehutanan, di mana
penyelenggaraan penyuluhan termasuk di dalamnya.
Kewenangan urusan penyuluhan kini hanya
menjadi milik Pemerintah Pusat dan Provinsi, yang menjadikannya semakin
jauh dari masyarakat di lapangan — sang target penyuluhan. Kalau sudah
begini, target-target pembangunan kehutanan yang sangat berhubungan
perwujudan Nawa Cita Joko Widodo bisa terpengaruh.
Untuk itu, perlu ada solusi segera agar
penyelenggaraaan penyuluhan tetap efektif. Bagaimana? Kepala Badan
Penyuluhan dan Pengembangan SDM (BP2SDM) Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan, Bambang Soepijanto memaparkan sejumlah
usulan. Intinya, penyuluhan kehutanan tetap bisa dilakukan di tingkat
Kabupaten/Kota dengan memberikan tugas pembantuan dari Pusat.
Bagaimana persisnya penyelenggaraan
penyuluhan paska UU No 23 tahun 20014 dan memastikan selalu tetap
efektif, berikut petikan wawancara dengan doktor jebolan Universitas
Brawijaya ini:
UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan
Daerah sudah setahun usianya. Apakah ada pengaruhnya untuk Kementerian
LHK, khususnya untuk kegiatan penyuluhan kehutanan?
Tentu ada pengaruhnya. Berdasarkan UU
itu, penyelenggaraan penyuluhan kehutanan kini ditarik ke Pusat, paling
jauh ke Provinsi. Ada enam sub urusan kehutanan yang kini konkuren hanya
antara Pusat dan Provinsi. Kabupaten/Kota tidak lagi punya kewenangan.
Sub urusan itu adalah perencanaan hutan, pengelolaan hutan, konservasi
SDA hayati dan ekosistemnya, pengelolaan DAS, pengawasan kehutanan, dan
pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat di
bidang kehutanan.
Jadi, berdasarkan UU tersebut, lembaga
yang menyelenggarakan penyuluhan di Kabupaten/Kota, yaitu Badan
Pelaksana Penyuluhan (Bapeluh), akan kehilangan kewenangannya untuk
urusan kehutanan.
Ini membuat penyelenggaraan penyuluhan
semakin jauh rentang kendalinya. Jadi, pasti berdampak pada
keberhasilannya. Dan tentu saja akan berdampak pada keberhasilan
program-program kehutanan.
Bukankah penyelenggaraan penyuluhan
kehutanan ada UU-nya sendiri seperti diatur pada UU No. 16 tahun 2004?
Di situ kan jelas soal eksistensi Bapeluh?
Benar. Tapi ada paradoks antara UU No.
16 tahun 2004 dengan UU No. 23 tahun 2014. Berdasarkan UU No. 16/2004,
memang dimandatkan adanya penyelenggaraan penyuluhan kehutanan hingga
Kabupaten. Tapi di UU No. 23/2014, kewenangan pengurusan sektor
kehutanan hanya sampai Provinsi. Di Kabupaten tidak ada kamarnya.
Sebenarnya, kalau Kabupaten tidak merasa
rugi dan dia mau, biarkan saja Bapeluh tetap hidup. Tapi harus diingat,
prinsip pembiayaan anggaran pemerintah adalah money follow function. Nah, kalau fungsi Bapeluhnya sudah tidak ada, tidak mungkin juga APBD bisa membiayai.
Harus dipahami juga, dalam UU No. 23
tahun 2014 seluruh urusan bidang perikanan ditarik ke Pusat. Sementara
untuk penyelenggaraan penyuluhan pertanian harus didukung oleh peraturan
presiden. Dalam UU tersebut, urusan-urusan yang tidak dinyatakan, maka
pelaksanaannya menunggu peraturan presiden. Nah, urusan pertanian
termasuk yang tidak dinyatakan.
Lantas bagaimana agar tetap bisa berjalan efektif dengan situasi tersebut?
Agar Bapeluh tetap hidup, kami tawarkan
agar bersedia ditempelkan untuk urusan penyuluhan lingkungan hidup.
Berdasarkan UU No. 23 tahun 2014, penyelenggaraan urusan lingkungan
hidup memang masih konkuren Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota.
Bapeluh nantinya bisa melakukan tugas
pembantuan untuk penyuluhan kehutanan. Ini bisa dilakukan sambil
menunggu kepastian lebih lanjut dari perpres yang mengatur urusan
pertanian.
Ini memang masih ide, kami akan minta
pendapat dari Bapeluh, Badan Koordinator Penyuluhan (bakorluh), dan
dinas kehutanan untuk mencari solusi ini. Kami juga minta masukan dari
pihak-pihak terkait lainnya termasuk menteri Koordinator bidang
Perekonomian, sebagai Koordinator Nasional Penyuluhan. Pastinya, perlu
ada solusi agar penyelenggaraan penyuluhan bisa tetap efektif.
Selain soal kelembagaan penyuluhan, langkah apa yang sudah diambil paska terbitnya UU 23/2014?
Kami sedang melakukan proses untuk
mengubah status penyuluhan kehutanan menjadi pegawai pusat. Selama ini
mereka tercatat sebagai pegawai daerah. Oleh karena itu, kami sudah
berkomunikasi dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi dan Badan Kepegawaian Nasional. Adanya UU Aparatur
Sipil Negara ikut memudahkan proses tersebut.
Kalau begitu, nanti pegawai Pusat makin banyak dong? Apakah tidak menambah beban anggaran?
Oh tentu tidak. Jumlah pegawai memang
bertambah cukup banyak, sekitar 4.000-an. Tapi tidak masalah. Anggaran
untuk gaji pegawai kan disalurkan lewat DAU sesuai jumlah personel di
daerah. Jadi, begitu status pegawai ditarik ke Jakarta, DAU-nya tiggal
ditarik juga ke Pusat.
Tidak akan menambah beban anggaran. Ini zero sum game, hanya kantong kiri kantong kanan.
Penyuluh bisa saja nantinya di BKO ke
Provinsi. Tapi gaji tetap dari Pusat. Kalau nanti ada tambahan apa-apa
dari daerah, bisa saja.
Bagaimana situasi yang berkembang di lapangan saat ini dengan adanya UU No. 23/2014 itu?
Sebenarnya bisa dengan mudah ditangkap
adanya kekhawatiran, ada ketidakpastian karena kekosongan kewenangan
daerah Kabupaten/Kota. Mereka ragu, Pusat tidak bisa memfasilitasi.
Akhirnya bisa saja urusan penyuluhan kehutanan tidak dilakukan. Termasuk
urusan bidang kehutanan lainnya.
Penyelenggaraan penyuluhan ini jangan
dianggap main-main loh, karena terkait dengan SDM. Jadi, persoalan ini
jangan disederhanakan.
Kalau begitu, pasti ada pengaruhnya ke penyerapan anggaran dong?
Tentu. Kami masih perhitungkan saat ini
bagaimana dampaknya dan antisipasinya. Pembagian kewenangan ini kan
terkait juga kucuran Dana Dekonsentrasi (Dekon) dan Dana Alokasi Khusus
(DAK) ke daerah.
Dana Dekonsentrasi sendiri hanya bisa
dimanfaatkan untuk belanja yang sifatnya program, misalnya monitoring
dan evaluasi penyuluhan. Sementara Dana DAK bisa dimanfaatkan untuk
kegiatan yang bersifat fisik. Hanya saja, DAK itu adalah pembiayaan
pemerintah atas kewenangan pemerintah daerah. Kalau bukan kewenangan
daerah, tentu tak bisa dibiayai DAK. Sugiharto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar