http://agroindonesia.co.id/wp-content/uploads/2015/10/penyuluhan-lmdh-madyo-laras.jpg
Penyelenggara penyuluhan di
Kabupaten/Kota saat ini sedang resah dan kebingungan. Jika menggunakan
bahasa gaul, mereka sedang “galau tingkat dewa”. Penyebabnya tak lain UU
No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Terbitnya UU No. 23 tahun 2014 ternyata
membuat hilangnya kewenangan untuk urusan bidang kehutanan. Yang hilang
bahkan seluruh urusan bidang kehutanan. Situasi ini dikhawatirkan
membuat kegiatan penyuluhan menjadi terabaikan. Padahal, banyak juga
pemerintah Kabupaten/Kota yang memiliki komitmen untuk penyelenggaraan
penyuluhan, mengingat perannya yang sangat vital.
Kepala Badan Pelaksana Penyuluhan dan
Ketahanan Pangan (BP2KP) Kabupaten Cilacap, Susilan, misalnya. Dia
mengaku saat ini pihaknya sedang gelisah. Hilangnya kewenangan
penyelenggaraan penyuluhan kehutanan dikhawatirkan bakal mempengaruhi
efektivitas kegiatan penyuluhan di lapangan. “Dengan rentang kendali
yang semakin jauh, tentu tantangan kegiatan penyuluhan kehutanan semakin
sulit,” katanya.
Susilan mengungkapkan, optimisme
kegiatan penyuluhan kehutanan akan semakin baik dan coba dibangun pasca
terbitnya UU No 23 tahun 2014. Namun, realitasnya hal itu sangat sulit
dilakukan. Berbagai urusan terkait kegiatan penyuluhan, seperti
administrasi, penyediaan sarana dan prasana, dan hal terkait lainnya
akan lebih mudah dilakukan jika penyelenggara kegiatan dekat dengan
penyuluh dan target penyuluhannya.
Susilan pun mengaku khawatir dengan masa
depan program pengembangan hutan rakyat, pemberdayaan masyarakat di
sekitar hutan, dan program kehutanan lainnya. Penyelenggaraan penyuluhan
yang tidak efektif dipastikan akan mengancam keberhasilan
program-program prioritas tersebut. “Hutan di Cilacap cukup luas dan
butuh penanganan. Jika tidak akan terancam kritis,” katanya.
Saat ini jumlah penyuluh kehutanan di
BP2KP Kabupaten Cilacap mencapai 45 orang. Selain itu juga tercatat 81
penyuluh pertanian, 84 Tenaga Harian Lepas-Tenaga Bantu Penyuluh
Pertanian, dan 13 orang penyuluh perikanan.
Menurut Susilan, jumlah penyuluh yang
ada saat ini sesungguhnya pas-pasan. Dia khawatir formasi penyuluh yang
ada bakal berubah jika pemerintah provinsi melakukan mutasi jabatan.
Dia makin galau karena berdasarkan UU
No. 23 tahun 2014, kewenangan penyelenggaraan penyuluhan di sektor lain
juga tak jelas. Untuk penyelenggaraan penyuluhan perikanan ditarik
sepenuhnya ke Pusat. Sementara penyelenggaraan penyuluhan pertanian
masih menunggu kejelasan lebih lanjut yang bakal diatur dalam peraturan
presiden (Perpres).
“Kami harap UU No. 23 tahun 2014 bisa
segera direvisi. Urusan penyelenggaran penyuluhan terlalu kecil jika
harus diatur dari pusat secara langsung,” katanya.
Perpres segera terbit
Wajar memang jika ada harapan agar UU
Pemerintahan Daerah direvisi kembali. Apalagi, akibat UU tersebut,
Bapeluh kini kehilangan kewenangan urusan bidang kehutanan. Bahkan, tak
cuma itu. Bapeluh juga kehilangan kewenangan urusan bidang perikanan
yang ditarik sepenuhnya ke Pusat.
Eksistensi Bapeluh juga makin tidak
jelas. Kewenangan urusan bidang Pertanian pun masih belum diatur secara
tegas, sebab masih menunggu terbitnya peraturan presiden sesuai amanat
UU Pemerintahan Daerah.
Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan
SDM Kementerian Pertanian, Pending Dadih Pernana menyatakan, saat ini
pihaknya masih menunggu terbitnya peraturan presiden (Perpres) yang
mengatur peta kewenangan tentang konkurensi.
Dia mengatakan, draft perpres sudah
tuntas dan sedang difinalisasi di Kementerian Dalam Negeri.
“Mudah-mudahan dalam waktu dekat sudah bisa terbit,” katanya.
Dia menjelaskan, dalam perpres itu
nantinya akan mengatur hal-hal subtantif yang merupakan amanat dari
Undang-undang No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan. Termasuk di dalamnya adalah kebijakan strategi,
pembinaan dan pengawasan, kelembagaan, ketenagakerjaan, dan
pelaksanaan.
Harapan
Di tengah kondisi galau akibat dampak UU
Pemerintahan Daerah, ada optimisme yang coba dibangun oleh para
penyuluh kehutanan. Mereka berharap kegiatan penyuluhan bakal makin
diperhatikan. Dampaknya, penyelenggaraan urusan penyuluhan pun bakal
makin efektif.
Berti, penyuluh kehutanan dari Biak
Numfor, Papua menyatakan, saat ini perhatian yang diterima penyuluh dan
kegiatan penyuluhan kehutanan sangat minim. “Jadi, kami mohon agar
diperhatikan mengingat pentingnya kegiatan penyuluhan,” katanya.
Dia menuturkan, jumlah penyuluh
kehutanan di Biak Numfor ada delapan orang. Terkesan banyak. Namun,
dengan luas wilayah kerja yang terdiri atas 19 kecamatan dan 250
kampung, petugas tersebut sangatlah minim. Luas daratan Kabupaten Biak
Numfor sendiri sekitar 3.000 km2.
“Biak Numfor ini kepulauan. Jadi, banyak lokasi yang sulit dijangkau,” kata Berti.
Harapan positif juga dinyatakan
Nurhayadi, penyuluh dari Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Penyuluh
pemenang pertama penghargan Wana Lestari 2015 itu menyatakan, dengan
ditariknya penyelenggaraan penyuluhan kehutanan ke Kementerian LHK, maka
kegiatan penyuluhan kehutanan akan lebih fokus.
Dia menuturkan, selama ini ada salah
kaprah dalam penyelanggaran penyuluhan, di mana seorang penyuluh
diharuskan memiliki kemampuan di lintas bidang pertanian, perikanan,
kehutanan. Hal itu membuat penyuluh tak fokus dengan bidang
pekerjaannya.
“Seseorang yang spesialis akan lebih baik, sehingga pekerjaannya pun berdampak kepada bidang lain,” katanya. Sugiharto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar