http://agroindonesia.co.id/index.php/2015/10/20/ketika-komando-penyuluh-kembali-ke-pusat/
Terbitnya Undang-undang No. 23
tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diharapkan bisa membenahi otonomi
daerah yang kebabalasan. Namun, undang-undang yang terbit di masa ‘injury time’
periode kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono itu ternyata menyisakan
PR besar yang mesti segera diselesaikan. Respons yang terlambat bisa
membuat banyak persoalan bangsa tak terpecahkan.
UU No. 23 tahun 2014 memang cukup
revolusioner. Bagaimana tidak. Kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota
untuk sejumlah urusan kini dibetot, terutama yang terkait sumber daya
alam. Salah satunya adalah kewenangan untuk urusan bidang kehutanan.
Berdasarkan UU tersebut, konkurensi
bidang kehutanan yang masih dibagi hingga pemerintah Kabupaten/Kota
hanyalah untuk Taman Hutan Rakyat (tahura). Itupun hanya untuk Tahura
yang seluruh wilayahnya berada di Kabupaten/Kota tersebut. Sementara
urusan bidang kehutanan lainnya menjadi kewenangan Pusat dan Provinsi.
Termasuk untuk urusan penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat.
Situasi ini sesungguhnya memicu
kekhawatiran. Maklum, penyelenggaraan urusan penyuluhan sejatinya tak
bisa jauh-jauh dari targetnya, yaitu masyarakat di lapangan. Semakin
jauh rentang kendali penyelenggaraan penyuluhan, dikhawatirkan membuat
pesan pembangunan yang disampaikan penyuluh menjadi bias. Dampaknya
tentu saja besar, melencengnya target-target pembangunan kehutanan.
“Untuk itu perlu ada solusi agar
penyelenggaraan tetap bisa berjalan efektif,” kata Kepala Badan
Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Bambang Soepijanto, di Jakarta, Kamis (15/10/2015).
Asal tahu saja, kegiatan penyuluhan yang
dilakukan di tingkat Kabupaten/Kota sangat bejibun. Sebut saja program
Kampanye Indonesia Menanam, Kampanye kecil Menanam Dewasa Memanen,
pendampingan kegiatan Kebun Bibit Rakyat, Hutan Rakyat, dan sejumlah
program penanaman lainnya. Program-program tersebut merupakan unggulan
Kementerian LHK dan menjadi bagian dari pencapaian target rehabilitasi
hutan dan lahan seluas 5 juta hektare (ha) pada periode 2015-2019.
Masih ada program pendampingan kelompok
usaha produktif dan peningkatan kapasitas SDM. Selain itu, banyak lagi
program-program yang merupakan perwujudan Nawa Cita yang sudah
dicanangkan Presiden Joko Widodo, di mana penyuluh menjadi ujung
tombaknya.
Perpres
Penyelenggaraan penyuluhan sebenarnya
punya payung hukum yang cukup kuat dengan UU No. 16 tahun 2006 tentang
Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K). Salah satu
amanat dari UU tersebut adalah dibentuknya Badan Pelaksana Penyuluhan
(Bapeluh) Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan di tingkat Kabupaten/Kota
untuk meningkatkan efektifitas rentang kendali kegiatan penyuluhan.
Hingga saat ini, tercatat ada 463 Bapeluh yang telah berdiri di kabupaten/kota seluruh Indonesia.
Persoalannya, ya itu tadi. Bapeluh kini
kehilangan kewenangan urusan bidang kehutanan. Bahkan, tak cuma itu.
Bapeluh juga kehilangan kewenangan urusan bidang perikanan yang ditarik
sepenuhnya ke Pusat.
Masa depan Bapeluh makin suram karena
kewenangan urusan bidang Pertanian pun masih belum jelas. Berdasarkan UU
Pemerintahan Daerah, kewenangan urusan bidang pertanian masih harus
menunggu terbitnya peraturan presiden. Hingga kini, setahun pasca
terbitnya UU Pemerintahan Daerah, belum ada sinyal peraturan presiden
tersebut bakal terbit.
Bambang menjelaskan, ada jalan keluar
agar kegiatan penyuluhan kehutanan tetap bisa berjalan efektif. “Caranya
adalah dengan membagi Bapeluh kewenangan urusan penyuluhan lingkungan
hidup,” katanya.
Berdasarkan UU 23/2014 tentang
Pemerintahan Daerah, sebanyak 11 urusan sub bidang lingkungan hidup
memang masih ditetapkan konkuren antara Pusat, Provinsi, dan kabupaten
Kota. Termasuk untuk urusan pelatihan dan penyuluhan lingkungan hidup
bagi masyarakat.
Dengan membagi kewenangan urusan
penyuluhan lingkungan hidup, maka Bapeluh masih bisa tetap eksis.
Apalagi, jika kemudian perpres pembagian urusan bidang pertanian juga
terbit. Selanjutnya, Bapeluh bisa mendapat Tugas Pembantuan dari Pusat
untuk melaksanakan penyuluhan kehutanan. Itu artinya, APBN dari pusat
bisa dikucurkan untuk tugas pembantuan tersebut.
Bambang menjelaskan, untuk memberikan
tugas pembantuan penyuluhan ke Kabupaten/Kota sebenarnya tidak mesti ke
Bapeluh. Bisa juga ke dinas yang mengurusi kehutanan. “Tapi kan sekarang
dinas di kabupaten/kota juga sudah tidak ada. Makanya Bapeluh perlu
tetap ada,” katanya.
Meski demikian, Bambang mengakui wacana
penyelamatan Bapeluh tersebut masih perlu dikomunikasikan dengan pihak
terkait. Dia menekankan, solusi apapun nantinya yang disiapkan,
tujuannya adalah mengefektifkan kegiatan penyuluhan di lapangan sehingga
target-target pembangunan bisa tercapai.
Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Siti Nurbaya menambahkan, saat ini tim teknis pada tingkat
eselon I lintas Kementerian terus bekerja untuk menyelaraskan hal-hal
terkait pembagian kewenangan antara Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota.
“Penyuluhan itu kan ada UU-nya sendiri. Saya kira tidak akan terlepas
dari UU penyuluhan itu,” katanya. Sugiharto
Lebih Mudah dengan Undang-undang ASN
Terbitnya UU No. 23 tahun 2014
tak bisa dipandang sederhana, khususnya untuk bidang kehutanan. Apalagi,
kementerian yang mengurusnya saat ini baru berbenah untuk struktur
organisasi pasca dibentuknya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan
SDM Kementerian LHK, Bambang Soepijanto menjelaskan, ada kekhasan pada
UU Pemerintahan Daerah, di mana tiga bidang disebut secara khusus untuk
konkurensinya hanya pada tingkat Pusat dan Provinsi. Bidang itu adalah
kehutanan, perikanan, dan energi sumber daya mineral.
Oleh karena itu, Bambang menjelaskan,
langkah yang telah diambilnya adalah berkomunikasi dengan Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi serta Badan
Kepegawaian Negara untuk mengubah status penyuluh menjadi pegawai Pusat.
Proses tersebut bisa lebih mudah dengan adanya Undang-undang No 5 tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Hal itu dipastikan akan menambah jumlah
pegawai Pusat. Meski demikian, kata Bambang, hal itu tidak akan menambah
beban anggaran pemerintah pusat. Pasalnya, selama ini gaji para
penyuluh bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU) dari pemerintah Pusat.
“Jadi, begitu status pegawainya ditarik ke Jakarta, anggaran gajinya
juga ditarik ke Pusat,” katanya.
Penyuluh juga bisa ditempatkan di
provinsi secara BKO (Bawah Kendali Operasional). Namun, gaji tetap
disalurkan oleh pemerintah pusat, meski untuk tambahan atau insentifnya
bisa dialokasikan oleh Provinsi.
Perubahan pembagian kewenangan seperti
diatur pada UU Pemerintahan Daerah dipastikan akan ikut menentukan besar
kecilnya serapan anggaran Kementerian LHK. Hal ini terkait dengan
kucuran Dana Dekonsentrasi (Dekon) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari
Kementerian LHK ke daerah.
Dana Dekonsentrasi sendiri hanya bisa
dimanfaatkan untuk belanja yang sifatnya program, misalnya monitoring
dan evaluasi penyuluhan. Sementara Dana DAK bisa dimanfaatkan untuk
kegiatan yang bersifat fisik. Hanya saja, DAK itu adalah pembiayaan
pemerintah atas kewenangan pemerintah daerah. “Kalau bukan kewenangan
daerah, tentu tak bisa dibiayai DAK,” kata Bambang.
Selain urusan penyuluhan, ada enam sub
urusan lagi yang kewenangannya kini hanya pada Pusat dan Provinsi. Yaitu
urusan perencanaan hutan, pengelolaan hutan, konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya, pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS),
dan pengawasan kehutanan. Sugiharto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar