Pengertian Agroforestri
Berdasarkan
definisi ICRAF, pengertian agroforestri adalah penamaan bagi sistem atau
teknologi penggunaan lahan di mana tanaman
berkayu berumur panjang (termasuk pohon, semak, palem, bambu, dll) dan tanaman pangan dan/atau pakan ternak
berumur pendek diusahakan pada petak
lahan yang sama dalam suatu pengaturan
ruang atau waktu. Di dalamnya terjadi interaksi
ekologi dan ekonomi antar unsur-unsurnya (Lundgren dan Raintree, 1982 dalam
Nair, 1993). Bentuk agroforestri cukup beragam, mulai dari yang sederhana
(hanya terdiri dari dua komponen atau jenis: tanaman berkayu dan tanaman
pangan) hingga yang kompleks (terdiri dari beberapa komponen, termasuk binatang).
Di Indonesia kita mengenal beberapa bentuk atau istilah yang merujuk pada
sistem agroforestri seperti tumpang sari, wana tani, kebun campur, dll. Adapun
tanaman yang dominan dalam sistem tersebut biasanya diikutsertakan dalam
penamaan. Contohnya agroforestri berbasis kopi menunjukkan kopi menjadi tanaman
dominan dalam sistem agroforestri tersebut.
Model Agroforestri Berbasis Kopi
Tanaman kopi
membutuhkan tanaman penaung karena akan menunjang keberlanjutan usaha tani
kopi, yaitu mempertahankan produksi dalam jangka panjang (di atas 20 tahun) dan
mengurangi kelebihan produksi (over
bearing) dan mati cabang (DaMatta dkk, 2007 dalam Supriadi dan Pranowo,
2015). Pada tanaman kopi tanpa penaung, selama periode pembungaan terjadi
peningkatan penyerapan karbohidrat oleh daun dan cabang untuk menunjang proses
pembentukan pembuahan. Akibatnya akar, cabang dan daun mengalami kerusakan.
Dengan adanya tanaman penaung proses pematangan buah diperlambat sehingga dapat
mengurangi kelebihan produksi dan kerusakan pada akar, daun dan cabang
(Muschler, 2001 dalam Bote dan Struik, 2011; dan Ricci dkk, 2011 Supriadi dan
Pranowo, 2015).
Berdasarkan hasil
penelitian tersebut dan pengalaman yang berkembang selama ini, dapat
disimpulkan bahwa sistem agroforestri berbasis kopi menjadi syarat penting
untuk menunjang produktivitas
kebun. Menurut Hairiah dan Rahayu (2010) dalam Supriadi dan Pranowo (2015)
bentuk agroforestri berbasis kopi yang ada dapat dikelompokkan menjadi dua
sistem, yaitu sistem agroforestri kompleks (tersusun atas beberapa lapisan
tajuk pohon atau multistrata) dan agroforestri sederhana. Agroforestri kompleks
berbasis kopi adalah tanaman kopi yang
ditanam dengan menggunakan lebih dari lima jenis tanaman penaung, sedangkan
pada agroforestri sederhana menggunakan kurang dari lima jenis tanaman penaung.
Basal area (luas lahan yang ditutupi tanaman) tanaman kopi pada kedua sistem
agroforestri tersebut kurang dari 80%.
Supriadi dan
Pranowo (2015) yang mengutip hasil penelitian beberapa peneliti menyebutkan
beragam tanaman penaung yang digunakan petani pada agroforestri berbasis kopi.
Tanaman penaung tersebut ada yang berupa tanaman buah-buahan (antara lain:
alpukat, mangga, jambu biji, pisang, pepaya, rambutan, jengkol, nangka durian,
cempedak, sukun, petai, markisa, dan jeruk); tanaman perkebunan (seperti:
karet, kayu manis, cengkeh, kemiri, kakao, kelapa, pala, dan melinjo); sampai
tanaman penghasil kayu/tanaman hutan (seperti: jati putih (Gmelina arborea), kayu Afrika (Maesopsis
eminii), mahoni, leda, suren, jati, cempaka, rasamala (Altingia excelsa), dan pinus).
Hal yang perlu diperhatikan
dalam menerapkan model agroforestri berbasis kopi adalah:
1. Kebutuhan tingkat nauangan tanaman kopi
Tanaman kopi
muda memerlukan tingkat naungan berkisar 35–66% untuk menunjang pertumbuhan-nya
(Baliza dkk, 2012; dan Sobari dkk, 2012 dalam Supriadi dan Pranowo, 2015).
Sedangkan pada tanaman kopi yang sudah berproduksi (umur di atas 4 tahun)
tingkat naungan yang diperlukan berkisar 30–50% (Ricci dkk, 2011; dan Fathurrohmah,
2014 dalam Supriadi dan Pranowo, 2015). Sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan
tanaman kopi, maka diperlukan pengaturan jarak tanam/populasi tanaman penaung.
2. Interaksi antar tanaman dan tanah
Interaksi antar
tanaman dapat bersifat langsung atau tidak langsung. Interaksi langsung
misalnya tanaman penaung yang bersifat menghambat pertumbuhan tanaman kopi
(efek allelophathy). Interaksi tidak
langsung ada yang bersifat negatif, misalnya menyebabkan adanya persaingan
dalam penyerapan unsur hara, air, atau pemanfaatan intensitas sinar matahari.
Namun ada pula interaksi tidak langsung yang bersifat positif, misalnya tanaman
penaung menghasilkan nitrogen sehingga menambah unsur hara tanah dan
menguntungkan tanaman kopi. Interaksi tidak langsung juga ada yang berperan
sebagai “pihak ketiga”, misalnya
tanaman penaung menjadi
inang bagi hama atau penyakit bagi tanaman kopi (Suprayoga dkk, 2003). Untuk itu perlu dilakukan pemilihan
jenis tanaman penaung maupun
tanaman penutup tanah (bila diterapkan) secara tepat, yaitu memilih jenis
tanaman yang memiliki interaksi yang bersifat positif.
3. Kondisi lahan kebun
Kondisi lahan
kebun terutama di lokasi kritis, seperti rawan erosi dan longsor perlu
diperhatikan dalam menerapkan model agroforestri berbasis kopi. Tanaman penaung
atau tanaman penutup tanah yang menjadi penguat tanah diperlukan untuk
mengurangi tingkat erosi dan longsor dengan pola dan jarak tanam yang tepat.
4. Potensi ekonomi produk yang dihasilkan
Tanaman
penaung, tanaman penutup tanah, maupun ternak yang diintegrasikan dalam model
agroforestri berbasis kopi sebaiknya yang memiliki potensi ekonomi cukup baik,
misalnya ditunjukkan oleh adanya kebutuhan akan produk yang dihasilkan,
kemudahan pemasaran, dll. Hal yang termasuk pertimbangan ekonomi adalah
memaksimalkan pengaturan waktu panen dari produk yang dipilih (misalnya
bulanan, musiman, dan tahunan) sehingga dapat dihasilkan produk sepanjang waktu
dari agroforestri berbasis kopi. Dengan demikian hasil dari agroforestri
berbasis kopi dapat meningkatkan pendapatan petani, selain hasil dari kopi
sebagai tanaman utama.
Manfaat Agroforestri Berbasis Kopi
Manfaat yang
dihasilkan dari penerapan agroforestri pada kebun kopi secara umum dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu manfaat secara ekologis dan ekonomis. Secara
ekologis manfaat penerapan agroforestri berbasis kopi antara lain adalah:
1. Konservasi tanah
Agroforestri
berbasis kopi dapat mengurangi laju aliran permukaan dan erosi tanah. Hasil
penelitian Dariah, dkk (2004) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) menunjukkan
bahwa tingkat aliran permukaan (46,36 mm) dan erosi (1,29 ton/ha) pada
agroforestri berbasis kopi lebih rendah dibandingkan kopi monokultur yang mempunyai
aliran permukaan dan erosi masing-masing 53,25 mm dan 1,50 ton/ha. Bahkan Utami
(2011) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) melaporkan aliran permukaan pada
sistem agroforestri berbasis kopi lebih rendah dari lahan terbuka dan hutan.
2. Konservasi air
Agroforestri
berbasis kopi dapat meningkatkan ketersediaan air tanah karena air hujan dapat
diresapkan lebih banyak ke dalam permukaan tanah berkat struktur tajuknya yang
berlapis. Hasil penelitian Cannavo, dkk (2011) dalam Supriadi dan Pranowo
(2015) menunjukkan pada kedalaman tanah 100 – 200 cm, ketersediaan air pada
agroforestri berbasis kopi
lebih tinggi dibandingkan kebun kopi monokultur. Guimarães, dkk (2014) dalam
Supriadi dan Pranowo (2015) melaporkan bahwa kadar air tanah pada sistem agroforestri
berbasis kopi lebih tinggi dibandingkan kopi monokultur (tanpa naungan) maupun
hutan sekunder. Sedangkan Maharahi, dkk (2013) dalam Supriadi dan Pranowo
(2015) melaporkan bahwa kadar air pada sistem agroforestri kopi multistrata
dapat mencapai 49,10%.
3. Konservasi keanekaragaman hayati
Keanekaragaman
hayati yang dapat didukung oleh sistem agroforestri berbasis kopi cukup
beragam, seperti satwa liar, serangga, jamur mikroskopis, hingga bakteri tanah.
Hasil penelitian Caudill, dkk (2014) dalam Supriadi dan Pranowo (2015)
menunjukkan keanekaragaman mamalia pada agroforestri berbasis kopi 5% lebih
besar dibandingkan kopi monokultur. Agroforestri berbasis kopi dapat memberikan
kelembaban udara yang sesuai untuk semut terutama di musim kemarau (Teodoro dkk,
2010 dalam Supriadi dan Pranowo, 2015). Sedangkan semut merupakan musuh
alami/predator penggerek buah kopi
(PBKo) (Hypothenemus hampei), dalam 5
hari semut dapat membunuh 74-99% dari populasi PBKo (Armbrecht dan Gallego,
2007 dalam Supriadi dan Pranowo, 2015). Sedangkan menurut laporan Bonfim dkk
(2010) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) pada agroforestri kopi dengan tanaman
penaung Salamandar (Grevillea robusta),
jumlah spora jamur mikoriza arbuskular (Arbuscular
Mycorrhizal Fungi) dua kali lipat dibandingkan kopi monokultur. Begitu juga
dengan bakteri tanah yang berfungsi dalam siklus unsur hara dan fiksasi N pada
agroforestri berbasis kopi populasinya 22% lebih tinggi dibandingkan kopi
monokultur (Evizal dkk, 2012 dalam Supriadi dan Pranowo, 2015).
4. Penambahan unsur hara
Keberadaan
berbagai jenis tanaman selain kopi pada sistem agroforestri berbasis kopi dapat
meningkatkan ketersediaan unsur hara. Berdasarkan hasil penelitian Qifli dkk
(2014) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) kandungan unsur N pada agroforestri
kopi multistrata dan sederhana lebih tinggi daripada kebun kopi monokultur
(berturut-turut 13,22%; 15,70%; dan 12,30%). Adapun Ebisa (2014) dalam Supriadi
dan Pranowo (2015) melaporkan bahwa pada
agroforestri berbasis kopi terdapat unsur fosfor (P) sebesar 5,44 ppm sedangkan
pada kebun kopi monokultur tidak ada. Sedangkan untuk unsur kalium (K) pada
agroforestri berbasis kopi lebih tinggi dibandingkan kebun kopi monokultur
(berturut- turut 3,15 dan 3,08 ppm.
5. Penambahan cadangan karbon
Besarnya cadangan
karbon yang dapat disimpan oleh ekosistem pertanian maupun hutan saat ini
menjadi perhatian penting dunia karena berperan dalam menurunkan jumlah karbon di
atmosfer yang menjadi penyebab perubahan iklim. Menurut hasil penelitian
Hairiah dan Rahayu (2010) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) rata-rata cadangan
karbon pada agroforestri multistrata berbasis kopi paling tinggi dibandingkan
agroforestri sederhana (naungan tunggal) milik kebun percobaan dan milik
petani, serta kebun kopi monokultur (berturut-turut: 43; 38; 23; dan 13 ton
C/ha). Adapun bila dibandingkan dengan cadangan karbon hutan primer, cadangan
karbon yang dapat disimpan oleh agroforestri berbasis kopi multistrata dan
sederhana masing-masing adalah sebesar 47,19% dan 42,98%, sedangkan bila
dibandingkan dengan hutan sekunder nilainya masing-masing sebesar 87,66% dan
79,85% (Sari dan Hariah, 2012 dalam Supriadi dan Pranowo, 2015).
6. Menekan serangan hama dan penyakit
Agroforestri
berbasis kopi dapat menekan serangan beberapa hama dan penyakit. Menurut hasil penelitian Bedimo dkk (2008)
dalam Supriadi dan Pranowo (2015) penyakit buah hijau kopi, yang disebabkan
oleh Colletotrichum kahawae dapat
ditekan pada kebun kopi yang menerapkan sistem agroforestri. Penyakit ini
sendiri merupakan kendala utama untuk budidaya kopi Arabika di Afrika, yang
dapat menyebabkan kerugian panen 60%. Adapun hasil penelitian Sribawa dkk
(2010) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) menunjukkan bahwa sistem agroforestri
berbasis kopi dengan tingkat naungan di atas 40% dapat menurunkan kelimpahan
nematoda parasit.
Adapun secara ekonomis, manfaat
dari penerapan agroforestri berbasis kopi adalah:
1. Peningkatan produksi, mutu, dan cita rasa kopi
Sistem agroforestri
berbasis kopi dapat meningkatkan mutu dan produksi kopi dibandingkan kebun kopi
monokultur. Berdasarkan hasil penelitian Bote dan Struik (2011) dalam Supriadi
dan Pranowo (2015) tanaman kopi Arabika yang menggunakan naungan menghasilkan
berat biji lebih besar (148 g/1000 biji) dibanding tanpa naungan (134 g/1000
biji) dan kualitas biji yang lebih baik dibandingkan tanpa naungan. Pada panen
pertama (umur tanaman 3 tahun) umumnya produksi biji kopi dengan naungan lebih
rendah dibandingkan kopi tanpa naungan. Namun pada panen berikutnya (umur
tanaman 4 hingga 15 tahun) produktivitas
kopi yang ditanam dengan naungan lebih tinggi dibandingkan kopi tanpa naungan
(Ricci dkk, 2011; dan Evizal, 2010 dalam Supriadi dan Pranowo, 2015). Meskipun
produksi pada agroforestri berbasis kopi lebih baik dibandingkan dengan kebun
kopi monokultur, namun demikian tingkat naungan dan kesuburan tanah perlu
diperhatikan dalam penerapannya. Penerapan agroforestri berbasis kopi juga
dapat meningkatkan cita rasa kopi. Berdasarkan hasil penelitian Erdiansyah dan
Yusianto (2012) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) kadar kafein dalam biji kopi
berkorelasi positif dengan intensitas cahaya. Intensitas cahaya tinggi yang
masuk ke kebun menyebabkan
aroma kopi Robusta yang makin kuat, sedangkan untuk membentuk cita rasa terbaik
diperlukan intensitas cahaya sedang.
2. Peningkatan pendapatan
Nilai ekonomi
dari agroforestri berbasis kopi lebih tinggi dibandingkan dengan kebun kopi
monokultur (tanpa naungan). Berdasarkan hasil penelitian Pramastiwi dkk (2010)
dalam Supriadi dan Pranowo (2015) kebun kopi monokultur hanya memberikan nilai
NPV (Net Present Value) Rp.
13.594.616/ha, BCR (Benefit Cost Ratio)
1,31 dan IRR (Internal Rate Return)
22,08%. Sedangkan jika diusahakan dalam sistem agroforestri sederhana berbasis
kopi, agroforestri multistrata kayu-kayuan berbasis kopi, dan agroforestri
multistrata multiguna berbasis kopi memberikan nilai NPV masing-masing sebesar
Rp. 14.136.907, Rp. 14.894.276, dan Rp. 18.759.216/ha; BCR masing-masing
sebesar 1,32; 1,34, dan 1,42; dan
IRR masing-masing sebesar 22,55%; 22,79%; dan 25,07%.
Sumber Rujukan
Nair, P. K. R. 1993. An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academic Publishers.
Dordrecht, The Netherlands.
Suprayoga, D., Hairiah, K., Wijayanto, N., Sunaryo,
dan van Noordwijk, M. 2003. Peran
Agroforestri pada Skala Plot: Analisis komponen agroforestri sebagai kunci
keberhasilan atau kegagalan pemanfaatan lahan. Bahan Ajaran Agroforestri 4.
World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia. Bogor, Indonesia.
Supriadi, H. dan Pranowo, B. 2015. Prospek pengembangan agroforestri berbasis
kopi di Indonesia. Perspektif 14 (2): 135 -150.
Oleh: Sukardi Ariyanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar