Kamis, 14 Mei 2020

Evaluasi Produktivitas Kayu dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari Skema Forest Stewardship Council di Jawa Timur




Pendahuluan

Hutan yang dikelola dengan intensitas kecil dan rendah (selanjutnya disebut: hutan rakyat) didorong oleh program penghijauan yang diprakarsai oleh pemerintah Indonesia sekitar tahun 1975, terutama di daerah aliran sungai yang dianggap kritis, termasuk hutan yang rusak, belukar, lahan kosong dan lahan terlantar (BPKH 2009).

Hutan ini juga berkontribusi sebagai pasokan bahan baku (kayu bulat) ke industri kayu yang selama periode 2007-2011 dimana luasan hutannya terus bertumbuh, khususnya di Jawa (Astana et al. 2014), setidaknya menurut Darusman and Hardjanto (2006) bahwa secara berurutan luasan dan produksi kayu dari hutan rakyat di Indonesia adalah 1,56 juta ha dan 39,56 juta m3.

Pohon cepat tumbuh seperti Sengon (Paraserianthes falcataria) dan Jabon (Anthocephalus cadamba) menjadi jenis pohon yang umum ditanam oleh masyarakat.

Perkembangan permintaan pasar untuk produk kayu ramah lingkungan didorong oleh konsumen hijau di negara maju yang secara tidak langsung mendorong produsen bahan baku kayu bulat untuk beradaptasi dalam pengelolaan hutannya.

Hinrichs et al. (2008) menjelaskan bahwa pengembangan sertifikasi hutan rakyat tidak dapat dihindari untuk memenuhi aspek keseimbangan produksi, lingkungan dan keberlanjutan sosial. Setidaknya dua skema sertifikasi yang diprakarsai, Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan Forest Stewardship Council (FSC), mulai mengakui pengelolaan hutan lestari untuk beberapa hutan rakyat di Indonesia sejak tahun 2004.


Secara khusus, skema terakhir di atas mencakup persyaratan internasional yang disesuaikan dengan peraturan lokal atau nasional.

Hutan rakyat juga memiliki karakteristik dalam kegiatan pemanenan kayu dan pengelolaan hasil hutannya dibandingkan dengan hutan alam atau tanaman. Petani cenderung memanen kayu ketika mereka membutuhkan, seperti untuk sekolah, perayaan, pembangunan rumah (Hinrichs et al. 2008).
Dalam konteks sertifikasi hutan rakyat, dapat diasumsikan bahwa unit manajemen hutan telah memiliki rencana kelola hutan yang baik, yang mungkin dapat mengatasi permasalahan ‘tebang butuh’ tersebut.

Permasalahan yang timbul jika situasi ‘tebang butuh’ masih terjadi dalam hutan rakyat yang telah tersertifikasi pengelolaan hutan lestari adalah tidak terimplementasi dengan baik rencana pengelolaan yang sudah dibuat atau disepakati oleh pengelola, khususnya untuk pencapaian target tebangan setiap tahunnya, sehingga akan berdampak pada pasar yang membutuhkan permintaan kuantitas bahan baku kayu tertentu dari unit pengelolaan hutan yang berpotensi terhadap pemenuhan standar sertifikasi pengelolaan hutan lestari tersebut.

Di sisi lain, pemilik skema sertifikasi beranggapan bahwa jika suatu unit pengelolaan hutan telah tersertifikasi pengelolaan hutan lestari, maka diharapkan unit manajemen hutan diasumsikan telah mengimplementasi secara penuh persyaratan standar, salah satunya yaitu pemenuhan perencanaan target tebangan secara periodik yang terstruktur dengan baik sesuai dengan rencana pengelolaan mereka, mengingat sertifikasi juga memerlukan investasi yang tidak sedikit dari pengelola hutan dari aspek biaya, waktu, dan tenaga.

Namun, studi ilmiah mengenai hutan rakyat bersertifikat saat ini masih berfokus pada masalah kelembagaan (misalnya, Yumi et al. 2012), dampak sertifikasi (misalnya, Kazuhiro dkk. 2012, Harada 2014, Fujiwara et al. 2015).

Secara umum, petani berpikir bahwa hutan sebagai aset jangka panjang dan akan dipanen kayunya ketika ada kebutuhan (Hinrichs et al. 2008), dan tergantung pada kondisi sosial ekonomi mereka (Fujiwara et al. 2017). Oleh karena itu, evaluasi pemanenan kayu dalam pengelolaan hutan rakyat lestari diperlukan untuk menjawab apakah target pemanenan kayu tahunan yang disepakati dapat dipenuhi ketika sertifikasi hutan lestari sudah ada (misalnya skema FSC).

Memahami tantangan implementasinya diperlukan untuk memenuhi permintaan bahan baku kayu bulat ke industri kayu di masa depan.

Metode Penelitian

Tiga hutan rakyat bersertifikat FSC di wilayah Jawa Timur (Enggal Mulyo, KSU KAM KTI, KSU Bromo Mandiri KTI) dipilih sebagai lokasi penelitian. Pertama, Enggal Mulyo memegang sertifikat FSC (SCS-FM/COC-005367) dengan masa berlaku hingga 20 Oktober 2020, kemudian lokasi kedua, KSU KAM KTI memiliki kode sertifikat FSC SAFM/COC-002083 berlaku hingga 21 Desember 2023, dan yang terakhir, KSU Bromo Mandiri KTI, memiliki sertifikat FSC SA-FM/COC-005493 dengan masa berlaku hingga 03 Januari 2022.

ketiga hutan rakyat tersebut memiliki ruang lingkup sertifikasi hutan yang berbeda.

Informasi
Enggal Mulyo
KSU KAM KTI
KSU Bromo Mandiri KTI
Lokasi
Ponorogo
Probolinggo
Probolinggo
Tahun berdiri
2010
2007
2015
Luasan (ha)
620.93
1.004.55
460.32
Jenis
Pinus, sengon, mahoni
Sengon, gmelina, mindi, bayur, mahomi, anggrung, balsa, jabon
Gmelina, sengon, jabon, balsa
Kelompok Petani
14
30
10
Sertifikasi hutan
FSC, SVLK
FSC, SVLK
FSC, SVLK
Dukungan
Persepsi
PT Kutai Timber Indonesia
PT Kutai Timber Indonesia

Data primer dan sekunder dikumpulkan selama periode April – Oktober 2019. Data primer mencakup diskusi bersama perwakilan petani dan pengelola hutan, didukung dengan observasi lapangan. Daftar pertanyaan telah dibahas dan didiskusikan antara penulis dan pakar hutan rakyat di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.

Cara ini digunakan untuk memahami motivasi petani menebang pohon mereka pada periode waktu tertentu, dan bagaimana pengelola hutan merencanakan target panen tahunan mereka. Observasi lapangan dalam kegiatan penebangan oleh masyarakat juga dilakukan untuk menentukan potensi pohon yang dipanen.

Selain itu, data sekunder (selama lima tahun terakhir) termasuk rencana pengelolaan tahunan, aktual pemanenan kayu, dan laporan audit FSC, juga ditinjau untuk mendukung evaluasi pemanenan kayu. Metode deskriptif digunakan dalam penelitian ini.

Semua data yang dikumpulkan (primer dan sekunder) dianalisis dan dijelaskan dengan membandingkan volume dalam meter kubik antara aktual penebangan kayu tahunan dan perencanaannya selama lima tahun terakhir. Microsoft Excel digunakan untuk menyajikan tabel informatif. Catatan dari diskusi dan observasi lapangan membantu untuk memahami isu-isu tentang realisasi kegiatan pemanenan kayu.

Hasil dan Pembahasan (Perencanaan Pemanenan Kayu)

Semua hutan rakyat dalam penelitian ini (Enggal Mulyo, KSU KAM KTI, KSU Bromo Mandiri KTI) menggunakan data inventarisasi pohon untuk semua anggota sebagai dasar untuk menetapkan pemanenan kayu tahunan dalam rencana pengelolaan mereka.

Kriteria spesifik keliling atau diameter pohon minimum mengacu pada prosedur operasional. Data inventaris kemudian digunakan sebagai referensi untuk mengembangkan Jatah Tebang Tahunan sebagai batas atau target pemanenan hasil hutan lestari untuk setiap jenis dalam lingkup anggota.

Informasi
Enggal Mulyo
KSU KAM KTI
KSU Bromo Mandiri KTI
Inventarisasi setiap (tahun)
2
3
3
Keliling pohon yang diinven
Min 30cm
Min 30cm
Min 30cm
Keliling pohon yang ditebang
Min 40cm
Min 40cm
Min 40cm
Diameter pohon yang ditebang
Min 15cm
Min 15cm
Min 15cm
Periode rencana pengelolaan
2015-2020
2015-2034
2015-2034

Skema hutan rakyat lestari juga diprasyaratkan membuat rencana pengelolaan. Selain untuk memastikan berapa banyak kayu bulat yang dapat dipanen secara berkelanjutan melalui metode atau peralatan panen yang sesuai, target ini membantu pengelola hutan untuk memasok sejumlah kayu bulat ke industri kayu.

Kami tidak dapat menemukan bahwa rencana pengelolaan, terutama rencana pemanenan kayu, di ketiga hutan rakyat tersebut telah mempertimbangkan kebutuhan petani di masa depan, misalnya perayaan atau sekolah. Dalam skema sertifikasi hutan lestari, diharapkan bahwa rencana pemanenan yang disepakati harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan berkelanjutan (Hinrichs et al. 2008).

Pengembangan hutan rakyat lestari tentu tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) adalah salah satu pendukung yang membantu membangun dan membantu teknik pengelolaan hutan (termasuk rencana pemanenan kayu tahunan), termasuk mempromosikan produk lestari dari hutan (Hinrichs et al. 2008), selain dari industri perkayuan sebagai hilirisasi dari proses pengolahan kayu bulat.

Persepsi adalah LSM lingkungan yang mendukung di Enggal Mulyo, sementara itu PT. Kutai Timber Indonesia berkontribusi penuh dalam merintis pengelolaan hutan di KSU KAM KTI dan KSU Bromo Mandiri KTI di Probolinggo.

Salah satu tantangan dalam hutan rakyat, petani sebagai pemilik tanah memiliki hak penuh untuk mengelola tanah mereka sendiri yang dapat mempengaruhi pelaksanaan sertifikasi hutan dalam suatu kelompok. Meskipun pengelola hutan mendukung petani mereka, setiap anggota lebih sering dapat memutuskan sendiri dalam praktik pengelolaan hutan, misalnya, periode panen kayu.

Semua kepentingan petani atau rencana masa depan (seperti sekolah, perkawinan, perayaan) perlu diinventarisasi atau diakomodasikan untuk menyempurnakan pembuatan rencana panen tahunan.

Evaluasi Aktual Pemanen Kayu

Pelaksanaan operasi pemanenan kayu di ketiga hutan rakyat tersertifikasi tersebut dilakukan berdasarkan prosedur rencana pemanenan. Di Enggal Mulyo, tim pemanen akan segera mengangkut kayu ke pengumpulan kayu setelah menebangnya dengan menggunakan gergaji mesin.

Realisasi pemanenan kayu dapat berfluktuasi setiap tahun tergantung pada permintaan pasar dan juga kebutuhan petani pada saat itu. Karena itu, target panen tahunan seluruhnya tidak dapat tercapai. Sementara di KSU KAM KTI dan KSU Bromo Mandiri KTI, juga tidak berbeda dari Enggal Mulyo dimana tidak ada target penebangan tahunan yang dicapai sejak 2014.

Tabel Rencana dan realisasi pemanenan kayu di Enggal Mulyo tahun 2014 – 2018

Tahun
Jenis
Rencana Pemanenan (m3)
Realisasi Pemanenan (m3)
2018
Pinus
Sengon
Mahoni
3.068,63
733,4
450,03
*)
*)
*)

2017
Pinus
Sengon
Mahoni
3.068,63
733,4
450,03
*)
*)
*)
2016
Pinus
Sengon
Mahoni
3.068,63
733,4
450,03
203,1
364,7
0
2015
Pinus
Sengon
Mahoni
3.068,63
733,4
450,03
203,1
364,7
0
2014
Pinus
Sengon
Mahoni
3.068,63
733,4
450,03
*)
*)
*)
*) Tidak ada data

Tabel Rencana dan realisasi pemanenan kayu di KSU KAM KTI tahun 2014 – 2018

Tahun
Jenis
Rencana Pemanenan (m3)
Realisasi Pemanenan (m3)
2018
Sengon
Balsa
Jabon
Gmelina
15.000,58
241,16
1.229,49
368,40
9.984,03
0
0
0
2017
Sengon
Balsa
Jabon
Gmelina
12.143,60
1.934,10
3.588,40
348,0
7.176,31
0
0
0
2016
Sengon
Balsa
Jabon
Gmelina
10.372,55
1.934,76
1.440,00
348,00
5.735,16
0
0
0
2015
Sengon
Balsa
Jabon
Gmelina
10.369,50
1.935,40
1.440,00
347,22
7.833,71
0
0
0
2014
Sengon
Balsa
Jabon
Gmelina
10.373,40
1.933,02
1.430,63
347,99
9.144,11
0
0
0

Tabel Rencana dan realisasi pemanenan kayu di KSU Bromo Mandiri KTI tahun 2015 – 2018

Tahun
Jenis
Rencana Pemanenan (m3)
Realisasi Pemanenan (m3)
2018
Sengon
Balsa
Jabon
Gmelina
5.631,12
504,00
753,30
360,00
3.545,67
0
0
0
2017
Sengon
Balsa
Jabon
Gmelina
4553,22
248,00
362,63
354,17
1.179,75
0
0
0
2016
Sengon
Balsa
Jabon
Gmelina
2.531,04
55,19
350,46
341,44
0
0
0
0
2015
Sengon
Balsa
Jabon
Gmelina
559,26
15,25
175,53
104,63
0
0
0
0

Berdasarkan catatan realisasi pemanenan kayu periode 2014-2018 di semua hutan rakyat bersertifikat, tampaknya sulit bagi mereka untuk mencapai rencana atau target tahunan pemanenan kayu. Prosedur pembatasan lingkar dan diameter pohon minimum telah dilaksanakan dengan baik oleh ketiga unit manajemen hutan.

Pengelolaan tegakan umumnya dilakukan dengan tebang pilih karena petani meninggalkan beberapa tegakan untuk kebutuhan masa depan (Hamdani et al. 2015). Evaluasi produksi aktual dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa produksi log mayoritas masih di bawah target tahunan.

Penghasilan dari pohon adalah alternatif terakhir untuk mendapatkan uang sebelum keputusan penebangan dibuat oleh petani. Berbagai motivasi petani untuk menebang pohon memenuhi kebutuhan mendesak mereka, seperti renovasi rumah, biaya kuliah, perayaan (Hamdani et al. 2015).

Penjualan tanaman pangan atau ternak (seperti, sapi, kambing, atau ayam) umumnya dapat dipilih terlebih dahulu sebelum menebang pohon (Hinrichs et al. 2008). Sertifikasi hutan dapat bermanfaat bagi petani, namun masalah keberlanjutan produktivitas menjadi tantangan dalam pengelolaan hutan.
Maryudi et al. (2017) menyatakan bahwa memahami praktik pengelolaan hutan yang lebih baik adalah satu hal yang penting, tetapi biaya sertifikasi yang tinggi merupakan pertimbangan lain untuk mempertahankan pengakuan skema hutan. Beberapa petani tidak hanya bergantung pada pemanenan kayu, tetapi juga mereka mengelola pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, seperti pertanian, peternakan.


Hutan Rakyat Lestari Bersertifikat FSC Hasil kami menunjukkan bahwa permasalahan tebang butuh ataupun tunda masih terjadi meskipun sudah ada rencana pengelolaan hutan yang komprehensif di hutan rakyat bersertifikat.

Tantangan dalam sertifikasi hutan juga dihadapi oleh petani dan pengelola hutan untuk mempertahankan sertifikasi hutan, seperti rendahnya anggaran untuk mengelola kebutuhan panen, kemudahan administrasi pemanenan kayu dan kegiatan transportasi antara koperasi atau pengepul, metode pembayaran antara kayu bersertifikat FSC dan kayu non-sertifikasi yang lebih mudah dilakukan oleh pedagang atau pengepul (Triple Line Consulting 2005, Hinrichs dkk. 2008, Wiyono dkk. 2018).

Sebaliknya, jika petani hutan rakyat lestari mampu mengatasi permasalahan tebang butuh atau tunda dalam pengelolaan hutan mereka sesuai dengan rencana pengelolaan yang telah dibuat atau disepakati, maka konsumen pengguna bahan baku kayu (misalnya industri perkayuan) akan mendapatkan kepastian atau kejelasan kuantitas pasokan bahan baku secara berkala yang dapat menguntungkan petani hutan rakyat untuk dapat memproduksi kayu secara berkesinambungan tanpa memperhatikan adanya kebutuhan internal petani tersebut.

Petani yang selama ini menjadikan kayu sebagai investasi jangka panjang perlu merubah paradigma pengelolaan keuangan yang lebih baik tidak hanya menggantungkan pada situasi saat terjadinya tebang butuh atau tunda tersebut, tanpa mengganggu pemenuhan persyaratan standar sertifikasi yang telah ditetapkan.


Log yang bersertifikat umumnya harganya lebih tinggi daripada log yang tidak bersertifikat. Maryudi et al. (2017) menjelaskan setidaknya 15-35% diperoleh untuk kayu yang dianggap dari pengelolaan hutan lestari. Dengan insentif ini, petani anggota diharapkan dapat mengikuti peraturan yang dibuat oleh pengelola hutan tentang rencana pemanenan hasil hutan.

Harga kayu bulat ditentukan secara berkala untuk para anggotanya dengan informasi yang transparan dan mudah diakses. Namun, kondisinya tidak segera memotivasi anggota untuk menjual kayu mereka ke koperasi karena beberapa masalah administrasi yang memerlukan beberapa hari untuk diproses, termasuk memverifikasi jumlah dan kualitas kayu.

Situasi ini perlu dipantau oleh pengelola hutan untuk menghindari dampak pada sertifikasi hutan mereka. Selain itu, pemilik skema FSC harus mempertimbangkan dalam standar mereka bahwa keberlanjutan tidak dapat dicapai melalui pemenuhan rencana pemanenan kayu tahunan berdasarkan rencana pengelolaan yang disepakati dalam sertifikasi hutan.

Kesimpulan

Hutan rakyat yang bersertifikat harus menyiapkan rencana pengelolaan yang komprehensif, termasuk rencana pemanenan tahunan. Inventarisasi hutan dilakukan untuk semua petani anggota untuk mengidentifikasi potensi pohon yang dipanen berdasarkan minimum keliling atau diameter pohon.

Kemudian, potongan tahunan yang diizinkan digunakan sebagai referensi untuk mencapai tujuan keberlanjutan dalam hal produksi. Tiga kasus pemanenan aktual ditunjukkan di Enggal Mulyo, KSU KAM KTI dan KSU Bromo Mandiri KTI yang menunjukkan hutan rakyat masih tampak kesulitan untuk mencapai target panen tahunan karena kurangnya implementasi pada rencana pengelolaan hutan yang disepakati, termasuk motivasi petani.

Sebagai tabungan terakhir, kayu hanya ditebang oleh petani untuk kebutuhan mendesak, seperti perayaan (hajatan), biaya sekolah. Situasi ini berdampak pada penundaan atau bahkan menebang pohon lebih awal, akibatnya target panen gagal tercapai.


Peran rencana pemanenan kayu dalam sertifikasi hutan adalah penting. Informasi tentang data inventarisasi pohon tampaknya tidak cukup untuk membuat target pemanenan dalam pengelolaan hutan terpenuhi. Pengumpulan data tambahan informasi tentang kebutuhan petani di masa depan dapat mendukung pembentukan rencana panen untuk mencapai targetnya.

Komitmen yang kuat dalam mengimplementasikan rencana pemanenan yang disepakati antara petani dan pengelola hutan juga diperlukan untuk mencapai hutan kemasyarakatan yang berkelanjutan, agar dapat secara berkala memasok bahan baku ke industri kayu.



Perubahan yang perlu dilakukan oleh petani atau pengelola hutan rakyat lestari untuk mengatasi permasalahan tebang butuh atau tebang tunda serta meningkatkan produktivitas bahan baku kayu yaitu :

  1. Membuat perencanaan tebangan sesuai kondisi aktual dari petani atau anggotanya dengan tidak hanya mempertimbangkan hasil inventarisasi pohon, namun juga mempertimbangkan kebutuhan petani di masa yang akan datang melalui wawancara
  2. Melakukan sosialisasi atau diskusi secara berkala kepada petani atau anggota mengenai implementasi rencana pengelolaan yang sudah dibuat dan disepakati bersama agar target tebangan dapat terpenuhi
  3. Pengelola hutan rakyat lestari juga perlu mendorong atau memotivasi petani anggotanya untuk melakukan pencampuran tanaman berkayu dengan komoditas lainnya yang berpotensi sebagai investasi di masa yang akan datang, seperti tanaman berumbi yang bernilai ekonomi tinggi (contoh Porang), hewan ternak yang bernilai jual tinggi (contoh Sapi), atau dikombinasikan dengan perikanan dalam areal hutan.
Jika salah satu usulan kegiatan tersebut dapat dilakukan oleh petani anggota, maka pemenuhan standar sertifikasi mengenai keberlangsungan produktivitas hasil hutan yang lestari akan terus terjaga dengan baik.

Daftar Pustaka

Astana S, Obidzinski K, Riva Wf, Hardiyanto G, Komarudin H & Sukanda. 2014. Implikasi biaya dan manfaat pelaksanaan SVLK terhadap sektor perkayuan skala kecil. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 11:175-198.

BPKH. 2009. Potensi Kayu dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990-2008. Kerjasama BPKH XI dengan MFP II. Yogyakarta.

Darusman D, & Hardjanto. 2006. Tinjauan ekonomi hutan rakyat. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Puslitbang Hasil Hutan. Bogor Indonesia.

FAO. 1990. Situation and Outlook of the Forestry Sector in Indonesia. Volume 2. Rome, Italy: Forest Resource Base.

FSC. 2016. FSC Global Strategic Plan 2015–2020. 19 December 2016. https://ic.fsc.org/preview.global-strategic-plan-2015-2020-english.a-5093.pdf.

FSC. 2018. Public Certificate. 28 February 2018. https://info.fsc.org/certificate.php#result.

Fujiwara T, Awang SA, Widayanti WT, Septiana RM, Hyakumura , Sato N. 2015. Effects of national community-based forest certification on forest management and timber marketing: A case study of Gunung Kidul, Yogyakarta, Indonesia. International Forestry Review 17:448-460.

Fujiwara T, Awang SA, Widayanti WT, Septiana RM, Hyakumura K, Sato N. 2017. Socioeconomic conditions affecting smallholder timber management in Gunungkidul District, Yogyakarta Special Region, Indonesia. Journal of Smallscale Forestry 17:41-56.
Hamdani FAU, Darusman D, Tiryana T. 2015. Evaluasi praktik tebang butuh di hutan rakyat Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat. Jurnal Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan 2:33-41.

Hinrichs A, Muhtaman Dr & Irianto N. 2008. Sertifikasi hutan rakyat di Indonesia. Jakarta, Indonesia: Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammernarbeit (GTZ).

Kazuhiro H, Rohman, Oktalina SN, Wiyono. 2012. Exploring potential of forest certification for community-based forest management in Indonesia. Journal of forest economics 58:58-67.

Kazuhiro H, Wiyono. 2014. Certification of a community-based forest enterprise for improving institutional management and household income: A case from Southeast Sulawesi, Indonesia. Journal of Small-scale Forestry 13:47–64.

Maryudi A. 2009. Forest certification for community-based forest management in Indonesia: Does LEI provide a credible option? IGES. Japan.

Muhtaman DR, Prasetyo FA. 2006. Forest certification in Indonesia, in: Cashore B, Gale F, Meidinger E, Newsom D (eds.). Confronting sustainability: Forest certification in developing and transitioning countries. Yale School of Forestry & Environmental Studies, New Haven.

Nugroho B, Tiryana T. 2013. Implication of the private property right to the community forest businesses formalization through the certification policy. Jurnal Manajemen Hutan Tropika 29:178-186.

Simon H. 2010. Dinamika Hutan Rakyat di Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Yumi, Sumardjo, Gani DS, Sugihen BG. 2012. Kelembagaan pendukung pembelajaran petani dalam pengelolaan hutan rakyat lestari. Jurnal Penyuluhan 8:15-28.
Sumber:
Evaluasi Produktivitas Kayu dalam Pengelolaan Hutan Rakyat Lestari
Skema Forest Stewardship Council di Jawa Timur
Penyusun: Hermudananto, Nunuk Supriyanto
  Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada.

https://pediailmu.com/kehutanan/evaluasi-produktivitas-kayu-dalam-pengelolaan-hutan-rakyat-lestari-skema-forest-stewardship-council-di-jawa-timur/

Tidak ada komentar: