Rabu, 22 Desember 2021

Budidaya Tanaman Durian Di KTH Alam Lestari Desa Gedangan Kecamatan Ngrayun Kabupaten Ponorogo



Durian (Durio zibethinus) merupakan salah satu komoditi yang mempunyai prospek cerah guna menambah pendapatan para petani yang tergabung di Kelompok Tani Hutan (KTH) Alam Lestari Desa Gedangan Kecamatan Ngrayun Kabupaten Ponorogo. Hal tersebut dapat memberi motivasi tersendiri bagi petani untuk lebih mengembangkan dan meningkatkan produksinya dengan harapan agar pada saat panen memperoleh hasil penjualan tinggi guna memenuhi kebutuhannya. 

Masyarakat Desa Gedangan Kecamatan Ngrayun Kabupaten Ponorogo, sudah sejak lama melakukan kegiatan agroforestri. Pada saat ini tanaman durian telah dikembangkan dalam model agroforestri di lahan masyarakat. Salah satu kendala yang dihadapi oleh masyarakat adalah belum banyak dilakukan aktivitas pemanfaatan tanaman durian, sehingga perlu digali lebih dalam mengenai faktor yang mempengaruhi produktivitas tanaman durian dan pemanfaatannya

Ciri-ciri morfologi tanaman durian, mempunyai tinggi pohon 40 meter atau lebih, kulit luar berwarna coklat sampai merah tua, kasar dan mengelupas tidak teratur. Kayu teras berwarna coklat merah jika masih segar, lambat laun menjadi cokelat kelabu atau coklat semu-semu lembayung, kayu gubalnya berwarna putih dan dapat dibedakan jelas dari kayu teras, dengan ketebalan sampai 5 cm, panjang batang bebas cabang sampai 25 meter, diameter batang 100-200 cm dan berbanir rendah (Shihontang 2010).

Durian sangat baik ditanam pada ketinggian 400-600 mdpl. Tanah yang cocok untuk budidaya durian yaitu subur, gembur, tidak bercadas, dan derajat keasaman tanah berkisar 6-7. Kedalaman air yang sesuai antara 1-2 m. Curah hujan rata-rata minimum 1600-4000 mm/tahun dengan bulan basah minimum 9 bulan, sedangkan bulan kering yang melebihi 3 bulan berakibat buruk terhadap pertumbuhan bunga maupun buah. Bahkan, dalam keadaan parah bunga maupun buah akan berguguran (Ashaf, 2011)

Buah tanaman durian mengandung nilai gizi yang tinggi, karena sangat higienis, mengkonsumsi buah durian akan menyehatkan tubuh manusia. Buah durian dapat mempercepat pemulihan kesehatan bagi orang maupun hewan yang sakit. Manfaat lain dari buah durian ialah mengandung antioksidan tinggi, antiinflamasi dan menjaga kelembaban kulit. Dari hasil uji klinis, mengkonsumsi buah durian bisa menurunkan garis halus dan kerutan kulit hingga 33% dalam waktu 4 minggu dan 55% dalam waktu 8 minggu (Ashari, 2017). Selain itu buahnya durian dapat dimakan bijinya.

Pohon durian digunakan untuk konservasi lingkungan karena mengurangi erosi, kulit buahnya digunakan sebagai campuran media tanam, bagian akar, daun, dan kulit buahnya dapat digunakan sebagai obat (Suhardi, 2002) Biji durian mempunyai kandungan pati yang cukup tinggi, merupakan sumber pangan karbohidrat alternatif. Setelah direbus, biji bisa dimakan sebagaicamilan, namun biji yang masih mentah beracun karena mengandung asam lemak siklopropena. Kuncup dan daun (pucuk), mahkota bunga, dan buah yang muda dapat dimasak sebagai sayuran (Ashari, 2017). 

Buah durian termasuk yang mengandung nutirsi tinggi dan menyehatkan. Menurut Dalmadi (2009) setiap 100 gram daging buah durian mengandung kalori sekitar 520kJ. Sementara itu Departemen Pertanian Amerika Serikat menganalisis kandungan gizi buah durian dengan buah avokad dan buah jambu biji. Kandungan energi buah durian lebih rendah dibandingkan dnegan buah avokad namun 3 kali lebih tinggi dibandingkan buah jambu biji, serta buah durian memiliki kandungan protein yang 2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan buah jambu biji.

Seiring waktu proses pengkayaan komoditi durian terus dilakukan di wilayah kerja KTH Alam Lestari dengan harapan kelak dapat sebagai sentra wisata durian. Ini juga menyiapkan desa penyangga bendungan Wadah yang akan dibangun di Desa Gedangan.

Budidaya Lanceng Di KTH Wono Argo Lestari Desa Baosan Kidul Kecamatan Ngrayun Kabupaten Ponorogo

 


Madu lanceng, mungkin nama madu tersebut kurang begitu familiar dikalangan umum, tidak pernah juga kita jumpai di supermarket atau minimarket madu lanceng ini. Wajar saja memang, karena madu lanceng ini masih terbilang budidaya baru dan hasil madunya memang tidak begitu banyak seperti madu yang berasal dari lebah pada umumnya.

Lanceng sebenarnya adalah nama dari jenis lebah yang menghasilkan madu tersebut, lanceng atau sebagian orang menyebutnya sebagai klanceng, adalah sejenis lebah tetapi berukuran lebih kecil dibanding dengan lebah lainnya, sehingga banyak yang menyebutnya sebagai lebah kerdil, hewan dengan nama latin Trigona Leviceps ini adalah jenis lebah yang tidak memiliki sengat, sehingga aman jika manusia berada di sekitarnya.

Kelompok Tani Hutan (KTH) Wono Argo Lestari Desa Baosan Kidul Kecamatan Ngrayun Kabupaten Ponorogo merintis usaha budidaya madu lanceng. Harga dari madu lanceng ini lebih mahal daripada harga madu biasa, karena memang jumlah produksinya relatif lebih sedikit daripada madu biasa.  Kelak dikemudian hari sumber penghasilan selain dari penjualan madu adalah dari pariwisata, kunjungan kunjungan wisata edukasi di kebun yang sekaligus cara mendapat madu tersebut juga dapat menyumbang penghasilan yang cukup besar.

Jumat, 19 November 2021

Wanaternak Kambing Di KTH Arga Lestari

 



Kombinasi tanaman hutan dengan hewan ternak yang dikenal sebagai wana ternak (sylvopasture), dan kombinasi tanaman hutan dengan perikanan yang dikenal sebagai wana mina (sylvofishery). Tanaman hutan pada kombinasi-kombinasi tersebut di atas akan memperbaiki fungsi hutan lindung.

Secara umum silvopasture diartikan sebagai kegiatan kombinasi antara kegiatan kehutanan dan peternakan dalam suatu kawasan hutan atau luasan lahan (Sugiharto, 2009). Subarudi (2010) menyarankan istilah yang tepat untuk silvopasture adalah wanaternak selain untuk memudahkan masyarakat awam dalam memahami arti dan makna silvopasture, istilah ini sejalan dengan penggunaan istilah lainnya yang sudah lebih dulu dikenal, di antaranya wanatani (istilah untuk agroforestry).

Istilah wanaternak belum masuk dalam Kamus Rimbawan yang disusun oleh Winarto (2006) yang ada di kamus tersebut istilah wanatani. Subarudi (2010) memberikan definisi wanaternak sebagai hasil modifikasi dari pengertian wanatani, yaitu: sistem penanaman hutan dengan jenis tanaman pakan ternak yang ditanam sebagai tanaman pencampur dengan memanfaatkan ruang tumbuh yang belum terkena naungan dan hasil akhirnya tetap berupa tanaman kayu-kayuan.

Penggunaan istilah wanaternak dirasakan sangat tepat untuk memudahkan pengertian dan pemahaman terkait dengan istilah silvopasture karena istilah di bidang lainnya yang menggunakan padanan kata wana sudah lazim digunakan seperti wanafarma (istilah untuk forest medicine), wanariset (istilah untuk research forest), dan wanawisata (istilah untuk recreation forest).

Wilayah kerja Kelompok Tani Hutan (KTH) Arga Lestari Desa Selur Kecamatan Ngrayun Kabupaten Ponorogo sekarang ini telah menjadi sentra peternakan kambing dengan didukung pemerintah desa dengan membagikan bibit kambing di setiap RT dengan tujuan pemberdayaan masyarakat. Dengan pemeliharaan berbasis intensif dengan sumber pakan yang diperoleh dari kawasan hutan hak dan dihutan Perhutani. Beberapa petani telah melakukan inovasi dengan membuat pakan permentasi dalam penyediaan pakan kambing peliharaannya.

Pengembangan wanaternak yang berkelanjutan harus didukung oleh semua pihak sebagai komitmen dan aksi bersama untuk mewujudkan program swasembada daging dan sekaligus juga sebagai upaya pengentasan kemiskinan masyarakat di sekitar hutan. Subarudi (2010) telah memberikan tip untuk pengelolaan wanaternak yang berkelanjutan dengan memperhatikan faktor penentu keberhasilannya, yaitu penyediaan pakan ternak, pemeliharaan kesehatan ternak, dan pemasaran produk-produk wanaternak. Manajemen wanaternak yang sangat penting perlu juga dilakukan melalui kegiatan perencanaan yang baik, pengaturan yang tepat, dan pelaksanaan yang efektif dan efisien, serta pengawasan yang intensif dan tegas dalam pengelolaan wanaternak.


Wanawiyata Widyakarya Pengelolaan Hutan Lestari Di KTH Enggal Mulyo Lestari



Wanawiyata Widyakarya  adalah lembaga pelatihan dan pemagangan  kegiatan usaha bidang kehutanan dan  lingkungan hidup, yang dimiliki dan dikelola oleh oleh kelompok masyarakat/perorangan secara swadaya. 

Wanawiyata Widyakarya Enggal Mulyo Lestari berdiri dengan Surat Keputusan Kepala Pusat Penyuluhan atas nama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, BP2SDM Kementerian  Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, nomor: SK 13/P2SDM/LUH/OTL.0/6/2017 tertanggal 6 Juni 2017 komoditas pelatihan dan pemagangan Pengelolaan Hutan Rakyat bersertifikat Forest Stewardship Council (FSC).

Wanawiyata Widyakarya memiliki prinsip :  
1. Keswadayaan, 
2. Kemanfaatan,  
3. Kerjasama. 
4. Partisipatif,  
5. Kemitraan. dan 
6. Keberlanjutan.

Kegiatan ini  berharap dapat  memberikan nilai manfaat,  bagi peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan perubahan sikap untuk meningkatkan produktivitas, pendapatan, dan kesejahteraan pelaku utama dan pelaku usaha.

Penyelenggaran Wanawiyata Widyakarya, dilaksanakan dengan upaya secara terus menerus dan berkesinambungan agar pengetahuan, keterampilan, serta perilaku pelaku utama dan pelaku usaha semakin baik dan sesuai dengan perkembangan,  sehingga terwujud kemandirian.

Tujuan Wanawiyata Widyakarya  
  1. Meningkatnya kapasitas kelompok  masyarakat/perorangan dalam mengembangkan dan mengelola lembaga pelatihan dan magang.
  2. Meningkatnya kapasitas masyarakat dalam mengembangkan usaha dibidang kehutanan dan atau lingkungan hidup.
  3. Berkembangnya kegiatan usaha masyarakat di bidang kehutanan dan atau lingkungan hidup

Pembinaan Wanawiyata widyakarya,  berupa  supervisi, fasilitasi,  monitoring dan evaluasi: dilakukan secara berjenjang oleh penyuluh kehutanan, instansi penyelenggara penyuluhan kehutanan di daerah dan pusat.

Supervisi dilakukan terhadap pengelolaan pelatihan dan magang, administrasi dan kelembagaan,  kapasitas sumber daya manusia, serta pengembangan usaha.

Monitoring dan evaluasi ini dilakukan untuk mengetahui : pelaksanaan kegiatan pelatihan dan magang pada Wanawiyata Widyakarya, Kapasitas Wanawiyata Widyakarya dalam mengembangkan jejaring kerja, baik dalam usaha maupun dalam penyelenggaraan pelatihan/ magang. Dan permasalahan yang dihadapi.

Pembiayaan
  • Sumber pembiayaan kegiatan Wanawiyata Widyakarya dapat berasal dari swadaya, Pemerintah, pemerintah daerah, swasta dan pihak lainnya
  • Pembiayaan kegiatan Wanawiyata Widyakarya terdiri dari biaya pengelolaan, biaya pelatihan dan  biaya magang
  • Biaya pengelolaan disediakan secara swadaya oleh kelompok masyarakat/perorangan.
  • Biaya pelatihan dan magang  dapat ditanggung oleh  peserta pelatihan dan magang.
  • Pembiayaan kegiatan Wanawiyata Widyakarya dapat difasilitasi oleh Pemerintah, pemerintah daerah, swasta dan pihak lain.

Kriteria Calon Lokasi
  • Kegiatan usaha bidang kehutanan dan atau lingkungan hidup  yang berhasil yang dikelola oleh kelompok masyarakat /perorangan.
  • Telah menjadi percontohan, tempat  pembelajaran/praktek, kunjungan/studi banding bagi masyarakat.
  • Memiliki SDM yang punya kapasitas sebagai fasilitator.
  • Memiliki sarana pertemuan, ruang sekretariat dan  perlengkapannya.
  • Terletak di desa yang memungkinkan tersedia fasilitas akomodasi (masyarakat sekitar)
  • Lokasi mudah dijangkau. 
Strategi:
1. menyelenggarakan magang pengelolaan hutan rakyat lestari skema Forest Stewarship Council (FSC)
2. Menerima studibanding
3. Menerima Penelitian bidang Kehutanan.

Wanawiyata Widyakarya diharapkan mampu menjadi kebangkitan kelompok tani untuk berperan dalam pembangunan kehutanan dan lingkungan, menjalankan fungsi sebagai media belajar, berbagi ilmu berbagi pengalaman, dan menjadi inspirasi bagi kelompok masyarakat lainnya.

Minggu, 10 Oktober 2021

Model Agroforestri Berbasis Kopi

 


Pengertian Agroforestri

Berdasarkan definisi ICRAF, pengertian agroforestri adalah penamaan bagi sistem atau teknologi penggunaan lahan di mana tanaman berkayu berumur panjang (termasuk pohon, semak, palem, bambu, dll) dan tanaman pangan dan/atau pakan ternak berumur pendek diusahakan pada petak lahan yang sama dalam suatu pengaturan ruang atau waktu. Di dalamnya terjadi interaksi ekologi dan ekonomi antar unsur-unsurnya (Lundgren dan Raintree, 1982 dalam Nair, 1993). Bentuk agroforestri cukup beragam, mulai dari yang sederhana (hanya terdiri dari dua komponen atau jenis: tanaman berkayu dan tanaman pangan) hingga yang kompleks (terdiri dari beberapa komponen, termasuk binatang). Di Indonesia kita mengenal beberapa bentuk atau istilah yang merujuk pada sistem agroforestri seperti tumpang sari, wana tani, kebun campur, dll. Adapun tanaman yang dominan dalam sistem tersebut biasanya diikutsertakan dalam penamaan. Contohnya agroforestri berbasis kopi menunjukkan kopi menjadi tanaman dominan dalam sistem agroforestri tersebut.
 
 
Model Agroforestri Berbasis Kopi

Tanaman kopi membutuhkan tanaman penaung karena akan menunjang keberlanjutan usaha tani kopi, yaitu mempertahankan produksi dalam jangka panjang (di atas 20 tahun) dan mengurangi kelebihan produksi (over bearing) dan mati cabang (DaMatta dkk, 2007 dalam Supriadi dan Pranowo, 2015). Pada tanaman kopi tanpa penaung, selama periode pembungaan terjadi peningkatan penyerapan karbohidrat oleh daun dan cabang untuk menunjang proses pembentukan pembuahan. Akibatnya akar, cabang dan daun mengalami kerusakan. Dengan adanya tanaman penaung proses pematangan buah diperlambat sehingga dapat mengurangi kelebihan produksi dan kerusakan pada akar, daun dan cabang (Muschler, 2001 dalam Bote dan Struik, 2011; dan Ricci dkk, 2011 Supriadi dan Pranowo, 2015).
 
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dan pengalaman yang berkembang selama ini, dapat disimpulkan bahwa sistem agroforestri berbasis kopi menjadi syarat penting untuk menunjang produktivitas kebun. Menurut Hairiah dan Rahayu (2010) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) bentuk agroforestri berbasis kopi yang ada dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestri kompleks (tersusun atas beberapa lapisan tajuk pohon atau multistrata) dan agroforestri sederhana. Agroforestri kompleks berbasis kopi adalah tanaman kopi  yang ditanam dengan menggunakan lebih dari lima jenis tanaman penaung, sedangkan pada agroforestri sederhana menggunakan kurang dari lima jenis tanaman penaung. Basal area (luas lahan yang ditutupi tanaman) tanaman kopi pada kedua sistem agroforestri tersebut kurang dari 80%.
 
Supriadi dan Pranowo (2015) yang mengutip hasil penelitian beberapa peneliti menyebutkan beragam tanaman penaung yang digunakan petani pada agroforestri berbasis kopi. Tanaman penaung tersebut ada yang berupa tanaman buah-buahan (antara lain: alpukat, mangga, jambu biji, pisang, pepaya, rambutan, jengkol, nangka durian, cempedak, sukun, petai, markisa, dan jeruk); tanaman perkebunan (seperti: karet, kayu manis, cengkeh, kemiri, kakao, kelapa, pala, dan melinjo); sampai tanaman penghasil kayu/tanaman hutan (seperti: jati putih (Gmelina arborea), kayu Afrika (Maesopsis eminii), mahoni, leda, suren, jati, cempaka, rasamala (Altingia excelsa), dan pinus).
 
Hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan model agroforestri berbasis kopi adalah:

1. Kebutuhan tingkat nauangan tanaman kopi
Tanaman kopi muda memerlukan tingkat naungan berkisar 35–66% untuk menunjang pertumbuhan-nya (Baliza dkk, 2012; dan Sobari dkk, 2012 dalam Supriadi dan Pranowo, 2015). Sedangkan pada tanaman kopi yang sudah berproduksi (umur di atas 4 tahun) tingkat naungan yang diperlukan berkisar 30–50% (Ricci dkk, 2011; dan Fathurrohmah, 2014 dalam Supriadi dan Pranowo, 2015). Sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan tanaman kopi, maka diperlukan pengaturan jarak tanam/populasi tanaman penaung.
 
2.   Interaksi antar tanaman dan tanah
Interaksi antar tanaman dapat bersifat langsung atau tidak langsung. Interaksi langsung misalnya tanaman penaung yang bersifat menghambat pertumbuhan tanaman kopi (efek allelophathy). Interaksi tidak langsung ada yang bersifat negatif, misalnya menyebabkan adanya persaingan dalam penyerapan unsur hara, air, atau pemanfaatan intensitas sinar matahari. Namun ada pula interaksi tidak langsung yang bersifat positif, misalnya tanaman penaung menghasilkan nitrogen sehingga menambah unsur hara tanah dan menguntungkan tanaman kopi. Interaksi tidak langsung juga ada yang berperan sebagai “pihak ketiga”, misalnya tanaman penaung menjadi inang bagi hama atau penyakit bagi tanaman kopi (Suprayoga dkk, 2003). Untuk itu perlu dilakukan pemilihan jenis tanaman penaung maupun tanaman penutup tanah (bila diterapkan) secara tepat, yaitu memilih jenis tanaman yang memiliki interaksi yang bersifat positif.

3.  Kondisi lahan kebun
Kondisi lahan kebun terutama di lokasi kritis, seperti rawan erosi dan longsor perlu diperhatikan dalam menerapkan model agroforestri berbasis kopi. Tanaman penaung atau tanaman penutup tanah yang menjadi penguat tanah diperlukan untuk mengurangi tingkat erosi dan longsor dengan pola dan jarak tanam yang tepat.
 
4.  Potensi ekonomi produk yang dihasilkan
Tanaman penaung, tanaman penutup tanah, maupun ternak yang diintegrasikan dalam model agroforestri berbasis kopi sebaiknya yang memiliki potensi ekonomi cukup baik, misalnya ditunjukkan oleh adanya kebutuhan akan produk yang dihasilkan, kemudahan pemasaran, dll. Hal yang termasuk pertimbangan ekonomi adalah memaksimalkan pengaturan waktu panen dari produk yang dipilih (misalnya bulanan, musiman, dan tahunan) sehingga dapat dihasilkan produk sepanjang waktu dari agroforestri berbasis kopi. Dengan demikian hasil dari agroforestri berbasis kopi dapat meningkatkan pendapatan petani, selain hasil dari kopi sebagai tanaman utama.
 
 
Manfaat Agroforestri Berbasis Kopi

Manfaat yang dihasilkan dari penerapan agroforestri pada kebun kopi secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu manfaat secara ekologis dan ekonomis. Secara ekologis manfaat penerapan agroforestri berbasis kopi antara lain adalah:
 
1.  Konservasi tanah
Agroforestri berbasis kopi dapat mengurangi laju aliran permukaan dan erosi tanah. Hasil penelitian Dariah, dkk (2004) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) menunjukkan bahwa tingkat aliran permukaan (46,36 mm) dan erosi (1,29 ton/ha) pada agroforestri berbasis kopi lebih rendah dibandingkan kopi monokultur yang mempunyai aliran permukaan dan erosi masing-masing 53,25 mm dan 1,50 ton/ha. Bahkan Utami (2011) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) melaporkan aliran permukaan pada sistem agroforestri berbasis kopi lebih rendah dari lahan terbuka dan hutan.
 
2.   Konservasi air
Agroforestri berbasis kopi dapat meningkatkan ketersediaan air tanah karena air hujan dapat diresapkan lebih banyak ke dalam permukaan tanah berkat struktur tajuknya yang berlapis. Hasil penelitian Cannavo, dkk (2011) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) menunjukkan pada kedalaman tanah 100 Р200 cm, ketersediaan air pada agroforestri berbasis kopi lebih tinggi dibandingkan kebun kopi monokultur. Guimaṛes, dkk (2014) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) melaporkan bahwa kadar air tanah pada sistem agroforestri berbasis kopi lebih tinggi dibandingkan kopi monokultur (tanpa naungan) maupun hutan sekunder. Sedangkan Maharahi, dkk (2013) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) melaporkan bahwa kadar air pada sistem agroforestri kopi multistrata dapat mencapai 49,10%.
 
3.    Konservasi keanekaragaman hayati
Keanekaragaman hayati yang dapat didukung oleh sistem agroforestri berbasis kopi cukup beragam, seperti satwa liar, serangga, jamur mikroskopis, hingga bakteri tanah. Hasil penelitian Caudill, dkk (2014) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) menunjukkan keanekaragaman mamalia pada agroforestri berbasis kopi 5% lebih besar dibandingkan kopi monokultur. Agroforestri berbasis kopi dapat memberikan kelembaban udara yang sesuai untuk semut terutama di musim kemarau (Teodoro dkk, 2010 dalam Supriadi dan Pranowo, 2015). Sedangkan semut merupakan musuh alami/predator penggerek  buah kopi (PBKo) (Hypothenemus hampei), dalam 5 hari semut dapat membunuh 74-99% dari populasi PBKo (Armbrecht dan Gallego, 2007 dalam Supriadi dan Pranowo, 2015). Sedangkan menurut laporan Bonfim dkk (2010) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) pada agroforestri kopi dengan tanaman penaung Salamandar (Grevillea robusta), jumlah spora jamur mikoriza arbuskular (Arbuscular Mycorrhizal Fungi) dua kali lipat dibandingkan kopi monokultur. Begitu juga dengan bakteri tanah yang berfungsi dalam siklus unsur hara dan fiksasi N pada agroforestri berbasis kopi populasinya 22% lebih tinggi dibandingkan kopi monokultur (Evizal dkk, 2012 dalam Supriadi dan Pranowo, 2015).
 
4.   Penambahan unsur hara
Keberadaan berbagai jenis tanaman selain kopi pada sistem agroforestri berbasis kopi dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara. Berdasarkan hasil penelitian Qifli dkk (2014) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) kandungan unsur N pada agroforestri kopi multistrata dan sederhana lebih tinggi daripada kebun kopi monokultur (berturut-turut 13,22%; 15,70%; dan 12,30%). Adapun Ebisa (2014) dalam Supriadi dan Pranowo  (2015) melaporkan bahwa pada agroforestri berbasis kopi terdapat unsur fosfor (P) sebesar 5,44 ppm sedangkan pada kebun kopi monokultur tidak ada. Sedangkan untuk unsur kalium (K) pada agroforestri berbasis kopi lebih tinggi dibandingkan kebun kopi monokultur (berturut- turut 3,15 dan 3,08 ppm.
 
5.    Penambahan cadangan karbon
Besarnya cadangan karbon yang dapat disimpan oleh ekosistem pertanian maupun hutan saat ini menjadi perhatian penting dunia karena berperan dalam menurunkan jumlah karbon di atmosfer yang menjadi penyebab perubahan iklim. Menurut hasil penelitian Hairiah dan Rahayu (2010) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) rata-rata cadangan karbon pada agroforestri multistrata berbasis kopi paling tinggi dibandingkan agroforestri sederhana (naungan tunggal) milik kebun percobaan dan milik petani, serta kebun kopi monokultur (berturut-turut: 43; 38; 23; dan 13 ton C/ha). Adapun bila dibandingkan dengan cadangan karbon hutan primer, cadangan karbon yang dapat disimpan oleh agroforestri berbasis kopi multistrata dan sederhana masing-masing adalah sebesar 47,19% dan 42,98%, sedangkan bila dibandingkan dengan hutan sekunder nilainya masing-masing sebesar 87,66% dan 79,85% (Sari dan Hariah, 2012 dalam Supriadi dan Pranowo, 2015).
 
6.  Menekan serangan hama dan penyakit
Agroforestri berbasis kopi dapat menekan serangan beberapa hama dan penyakit.  Menurut hasil penelitian Bedimo dkk (2008) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) penyakit buah hijau kopi, yang disebabkan oleh Colletotrichum kahawae dapat ditekan pada kebun kopi yang menerapkan sistem agroforestri. Penyakit ini sendiri merupakan kendala utama untuk budidaya kopi Arabika di Afrika, yang dapat menyebabkan kerugian panen 60%. Adapun hasil penelitian Sribawa dkk (2010) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) menunjukkan bahwa sistem agroforestri berbasis kopi dengan tingkat naungan di atas 40% dapat menurunkan kelimpahan nematoda parasit.
 
Adapun secara ekonomis, manfaat dari penerapan agroforestri berbasis kopi adalah:

1.   Peningkatan produksi, mutu, dan cita rasa kopi
Sistem agroforestri berbasis kopi dapat meningkatkan mutu dan produksi kopi dibandingkan kebun kopi monokultur. Berdasarkan hasil penelitian Bote dan Struik (2011) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) tanaman kopi Arabika yang menggunakan naungan menghasilkan berat biji lebih besar (148 g/1000 biji) dibanding tanpa naungan (134 g/1000 biji) dan kualitas biji yang lebih baik dibandingkan tanpa naungan. Pada panen pertama (umur tanaman 3 tahun) umumnya produksi biji kopi dengan naungan lebih rendah dibandingkan kopi tanpa naungan. Namun pada panen berikutnya (umur tanaman 4  hingga 15 tahun) produktivitas kopi yang ditanam dengan naungan lebih tinggi dibandingkan kopi tanpa naungan (Ricci dkk, 2011; dan Evizal, 2010 dalam Supriadi dan Pranowo, 2015). Meskipun produksi pada agroforestri berbasis kopi lebih baik dibandingkan dengan kebun kopi monokultur, namun demikian tingkat naungan dan kesuburan tanah perlu diperhatikan dalam penerapannya. Penerapan agroforestri berbasis kopi juga dapat meningkatkan cita rasa kopi. Berdasarkan hasil penelitian Erdiansyah dan Yusianto (2012) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) kadar kafein dalam biji kopi berkorelasi positif dengan intensitas cahaya. Intensitas cahaya tinggi yang masuk ke kebun menyebabkan aroma kopi Robusta yang makin kuat, sedangkan untuk membentuk cita rasa terbaik diperlukan intensitas cahaya sedang.
 
2.   Peningkatan pendapatan
Nilai ekonomi dari agroforestri berbasis kopi lebih tinggi dibandingkan dengan kebun kopi monokultur (tanpa naungan). Berdasarkan hasil penelitian Pramastiwi dkk (2010) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) kebun kopi monokultur hanya memberikan nilai NPV (Net Present Value) Rp. 13.594.616/ha, BCR (Benefit Cost Ratio) 1,31 dan IRR (Internal Rate Return) 22,08%. Sedangkan jika diusahakan dalam sistem agroforestri sederhana berbasis kopi, agroforestri multistrata kayu-kayuan berbasis kopi, dan agroforestri multistrata multiguna berbasis kopi memberikan nilai NPV masing-masing sebesar Rp. 14.136.907, Rp. 14.894.276, dan Rp. 18.759.216/ha; BCR masing-masing sebesar 1,32; 1,34, dan 1,42; dan
IRR masing-masing sebesar 22,55%; 22,79%; dan 25,07%.
 
 
Sumber Rujukan
Nair, P. K. R. 1993. An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht,  The Netherlands.
Suprayoga, D., Hairiah, K., Wijayanto, N., Sunaryo, dan van Noordwijk, M. 2003. Peran Agroforestri pada Skala Plot: Analisis komponen agroforestri sebagai kunci keberhasilan atau kegagalan pemanfaatan lahan. Bahan Ajaran Agroforestri 4. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia. Bogor, Indonesia.
Supriadi, H. dan Pranowo, B. 2015. Prospek pengembangan agroforestri berbasis kopi di Indonesia. Perspektif 14 (2): 135 -150.

Oleh: Sukardi Ariyanto

Perlindungan Mata Air

Bagaimana konsep dasar perlindungan mata air?

Perlindungan mata air secara sederhana dapat diartikan berbagai upaya yang dilakukan untuk memulihkan, menjaga dan melindungi mata air dan hasil airnya baik kualitas, kuantitas maupun kontinuitas.

Konsep perlindungan mata air mempunyai spektrum keruangan yang lebih luas, tidak hanya daerah sekitar titik mata air saja, tetapi juga meliputi seluruh Daerah Tangkapan Air (DTA) mataair (springshed).

Perlindungan juga dapat dipandang dari sudut pandang infrastruktur dan kawasan.  Perlindungan mata air berupa infrastruktur pada intinya adalah perlindungan melalui struktur bangunan, misalnya bangunan penampung air.  Sudut pandang kawasan merujuk perlindungan mata air secara spasial baik sekitar titik mata air maupun DTA mata air. 

Dari sudut pandang apapun, zonasi secara spasial untuk upaya perlindungan mata air perlu untuk didefinisikan.  Secara sederhana pembagian zona perlindungan setidaknya terdiri atas: titik dimana mata air berada, daerah sekitar mata air, dan Daerah Tangkapan Air (DTA) mata air (springshed).  Setiap zona perlindungan memiliki karakteristik dan tujuan perlindungan yang spesifik, sehingga hal ini menjadi dasar penentuan strategi perlindungan yang dapat dilaksanakan.

Bagaimana memahami mata air secara praktis?

Pemahaman mata air merupakan kunci dalam perlindungan mata air itu sendiri.  Informasi penting yang berhubungan dengan pemahaman mata air setidaknya meliputi proses kejadian mata air, karakteristik aliran, sifat fisika dan kimia air, dan prediksi daerah tangkapan airnya (DTA).  Pengetauan tentang karakteristik mata air menjadi sangat penting sebagai dasar strategi perlindungan, termasuk didalamnya untuk menentukan prediksi DTA mata air. 

Proses kejadian mata air tidak terlepas dari beberapa kondisi yang mempengaruhi. Setidaknya terdapat tiga kondisi yang mempengaruhi kemunculan mata air, yaitu kondisi morfologi, kondisi geologi dan kondisi hidrogeologi.  Proses kejadian mata air pada dasarnya banyak digunakan karakterisasi mata air, diantaranya berdasarkan sifat pengaliran air tanah, debit air, suhu air, tipe akuifer, tenaga penyebab pengaliran air tanah dan tipe material akuifer. 

Pemahaman hasil air baik kualitas maupun kuantitas adalah salah satu sarana untuk mengetahui proses yang terjadi di DTA mata air, karena mata air dapat menggambarkan integrasi proses geologi dan hidrologi pada suatu wilayah pada kurun waktu tertentu. 

Informasi karakteristik air mata air dapat digunakan untuk memprediksi besarnya imbuhan air tanah, memprediksi asal air mata air, memprediksi karakteristik material permukaan dan menentukan prediksi luas DTA. Tingkat kedalaman pemahaman mata air akan sangat tergantung pada kedalaman data yang dimiliki.  Semakin lengkap data yang dimiliki baik secara spasial maupun temporal maka pemahaman akan semakin komprehensif dan akurat.

Terlepas dari berbagai keterbatasan data dan informasi yang berkaitan dengan mata air, pendekatan praktis sangat diperlukan.  Pemahaman praktis ini didasarkan pada proses kemunculan mata air.  

Pertama, adalah mata air yang keluar secara horizontal.  Mata air ini di Jawa dikenal sebagai istilah umbul lanang (mataair laki-laki).  Mata air ini memiliki karakteristik mengalir ke permukaan secara horizontal.  Pada umumnya mata air ini mempunyai akuifer yang dangkal, berasal dari air tanah pada akuifer tidak tertekan dan memiliki sistem aliran bersifat lokal.  Hasil air secara kuantitatif sangat dipengaruhi oleh perubahan musim, dengan kata lain akan berfluktuasi sesuai musim atau input air hujan.  Secara kualitas termasuk sedang, dan aktivitas manusia di atasnya akan sangat berpengaruh.  Penentuan DTA mata air ini dapat memanfaatkan pendekatan batas-batas morfologi.

Kedua adalah mata air yang keluar ke permukaan secara vertical kea rah atas atau dikenal juga sebagai umbul wadon (mata air wanita). Mata air ini mempunyai cirri berasal dari akuifer tertekan yang dalam, mempunyai system aliran air regional dan kondisi geologi sangat berperan. Perubagan musim tidak mempengaruhi debit mata air secara signifikan begitu pula halnya aktivitas manusia. Penentuan DTA amat iair ini memerlukan pendekatan yang cenderung lebih rumit dan data pendukung yang lebih banyak, diantaranya dengan penggunaan pendekatan tracer test dan menggunakan batas-batas geologi


Bagaimana implementasi praktis perlindungan mata air?

Pada praktiknya perlindungan mataair dilakukan pada zona perlindungan secara spasial yang telah ditetapkan.  Setidaknya terdapat tiga zona perlindungan mata air yang harus didefinisikan.  Zona perlindungan yang dimaksud adalah: zona I (zona perlindungan titik mata air), zona II (zona perlindungan), dan zona III (zona perlindungan DTA mata air). 

Zona I merupakan zona perlindungan yang bertujuan untuk melindungi air yang keluar dari titik mata air dari semua zat pencemar. Pentapan zona I pada umumnya adalah radius 10-20 meter dari titik mata air. Upaya perlindungan yang banyak dilakukan adalah pembuatan bak penampung air sebelum didistribusikan. Hal lain yang penting dirumuskan adalah mekanisme pemanfaatan air, seperti mekanisme perijinan, penetapan aturan-aturan dan bila perlu dilengkapi standar pengelolaan yang ramah lingkungan


Zona II ditentukan dengan tujuan untuk melindungi mata air dari zat pencemar berupa bakteri patoghen yang dapat menyebabkan degradasi kualitas air.  Penentuan batas zona II diperhitungkan berdasarkan jarak tempuh bakteri colli selama kurang lebih 60 hari ke titik mata air.  Pada praktik di lapangan, batas zona ini ditentukan berdasarkan jarak dari mata air ke arah hulu (upstream) sejauh 200-300 m.  Pada zona ini berbagai kegiatan yang berpotensi untuk mencemari air tidak diperkenankan, termasuk kegiatan budidaya yang menggunakan pestisida atau pupuk berlebihan dan kegiatan antropogenik lainnya.


Zona III merupakan DTA mata air dimana air hujan yang jatuh sebagian akan terinfiltrasi dan memasuki sistem air tanah dan pada akhirnya akan muncul di titik mata air.  Zona ini pada dasarnya bertujuan untuk melindungi mataair dari zat pencemar yang tidak dapat mengalami degradasi dalam waktu singkat.  Secara praktis di lapangan, zona III ditentukan berdasarkan luas tangkapan air mataair. 


Penentuan batas DTA mata air ini akan sangat tergantung pada pemahaman tentang mataair yang telah dikemukakan sebelumnya.  Mata air yang mempunyai sistem aliran lokal dapat menggunakan pendekatan batas morfologi.  Mata air dengan sistem aliran regional dapat menggunakan pendekatan geologi atau tracer test.  Berbagai pendekatan secara hidrologis untuk menduga luas DTA mataair juga banyak dikembangkan, diantaranya pendekatan Todd (1980). 


Upaya perlindungan pada zona ini sangat luas dan akan ditentukan oleh karakteristik morfologi dan penggunaan/penutupan lahan.  Namun demikian pada zona ini hendaknya diupayakan adanya penyediaan ruang yang cukup untuk peresapan air hujan sebagai imbuhan air tanah. 


Aktivitas yang dapat mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi lindung suatu kawasan perlu dikendalikan, bahkan dilakukan pelarangan.  Aktivitas budidaya sedapat mungkin yang ramah lingkungan sehingga tidak menimbulkan dampak negatif, namun masih bisa memberikan keuntungan secara sosial ekonomis. 


Jumat, 17 September 2021

Bendungan Bendo Kabupaten Ponorogo

 




Bendungan Bendo yang terletak di Dukuh Bendo, Desa Ngindeng, Kecamatan Sawoo, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur

Bendungan Bendo dibangun dengan membendung Sungai Ngindeng dan Sungai Keyang. Kedua sungai ini adalah anak Sungai Bengawan Madiun yang juga merupakan anak Sungai Bengawan Solo.

Bendungan Bendo memiliki kapasitas tampungan sebesar 43,11 juta meter kubik. Dengan panjang 337 meter dan tinggi 74 meter, Bendungan Bendo diproyeksikan dapat memberikan manfaat irigasi sebesar 7.800 hektar, suplai air baku sebesar 370 liter/detik dan sebagai pereduksi banjir.

Bendungan adalah tampungan yang berfungsi untuk menyimpan air pada waktu air mencapai volume yang berlebihan, agar dapat dipakai pada waktu yang diperlukan. Usaha untuk mengatur keluar dan masuknya air pada waduk disebut manajemen air (water management).

Hal ini bertujuan agar pengaturan air untuk kebutuhan manusia dapat dilakukan dengan baik. Air yang diatur adalah air hujan atau sungai yang ditampung di waduk, sehingga air dapat disediakan dalam waktu atau tempat yang tepat dalam jumlah yang diperlukan. kemudian air yang melimpah tersebut dimanfaatkan untuk keperluan pertanian dan berbagai keperluan lainnya pada saat musim kemarau.

Beberapa manfaat waduk atau bendungan antara lain :

  1. Menyimpan Cadangan Air
  2. Mencegah Banjir
  3. Menyediakan Irigasi
  4. Menjadi Tempat Wisata
  5. Menyediakan Energi untuk Pembangkit Listrik
  6. Menyediakan Tempat Budidaya Perikanan
  7. Menjadi Tempat Konservasi Tumbuhan dan Hewan
  8. Menyediakan Arena Olahraga Air
  9. Memudahkan Transpotasi di Pedalaman
  10. Menyediakan Sumber Daya Hayati yang Dapat Dimanfaatkan


Perhutanan Sosial




 

Perhutanan Sosial adalah sistem pengelolaan Hutan lestari yang dilaksanakan dalam Kawasan Hutan Negara atau Hutan Hak/Hutan Adat yang dilaksanakan oleh Masyarakat setempat atau Masyarakat Hukum Adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan(PP. 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan Ps. 1)

Ketentuan mengenai Perhutanan Sosial diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial yang mulai berlaku sejak tanggal 1 April 2021. Pada saat Permen LHK No. 9 Tahun 2021 tentang Perhutanan Sosial (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 320) mulai berlaku, terdapat 5 peraturan Menteri LHK yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi antara lain:

  1. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.3/MENHUT-II/2012 tentang Rencana Kerja pada Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 63);
  2. Permen LHK Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1663);
  3. Permen LHK No. P.37/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2019 tentang Perhutanan Sosial pada Ekosistem Gambut (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1341);
  4. Permen LHK No. P.11/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2020 tentang Hutan Tanaman Rakyat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 491); dan
  5. Permen LHK No. P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2020 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1014),

 

Perhutanan Sosial terdiri atas:

a. Hutan Desa  (HD);

Hutan Desa (HD) adalah kawasan hutan yang belum dibebani izin, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.

b. Hutan Kemasyarakatan (HKm);

Hutan Kemasyarakatan  (HKm) adalah kawasan hutan yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat.

c. Hutan Tanaman Rakyat (HTR);

Hutan Tanaman Rakyat (HTR) adalah hutan tanaman pada Hutan Produksi yang dibangun oleh kelompok Masyarakat untuk meningkatkan potensi dan kualitas Hutan Produksi dengan menerapkan sistem silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian sumber daya hutan.

d. Hutan Adat; 

Hutan Adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah Masyarakat Hukum Adat.

e. Kemitraan Kehutanan.

Jumat, 27 Agustus 2021

Mrayan Trigona Park



 Mrayan Trigona Park, sarana edukasi dan wisata ilmiah budidaya lebah madu tanpa sengat (stingless bee) di koperasi Kelompok Tani Hutan (KTH) Enggal Mulyo Lestari Desa Mrayan Kecamatan Ngrayun Kabupaten Ponorogo. Mrayan Trigona Park ini merupakan wujud konsep terintegrasi pembudidayaan lebah trigona berbasis alam yang menggabungkan aspek estetika dan edukasi.
  
Pembangunan Mrayan Trigona Park ini merupakan langkah awal program divisi budidaya lebah di koperasi Kelompok Tani Hutan (KTH) Enggal Mulyo Lestari Desa Mrayan Kecamatan Ngrayun Kabupaten Ponorogo ditujukan untuk memberikan gambaran teknis budidaya lebah tanpa sengat.
 
Dengan tag line “Eco Edu Bee Farm”, Mrayan Trigona Park merealisasikan teknis budidaya lebah yang ramah lingkungan. Di Mrayan Trigona Park, penggunaan pupuk kimia sangat minimal, serta dilakukan penanaman tanaman hias yang mudah ditemui dan diperbanyak. Dengan konsep ini diharapkan usaha budidaya lebah madu dapat dimulai dari rumah tangga sebagai mata pencarian tambahan, namun tetap menghasilkan madu berkualitas menuju madu organik. 
 
Mrayan Trigona Park terletak di blog Punjung seluas 1 hektar yang menjadi kawasan terintegrasi Wanawiyata Widyakarya yang dikelola oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) Enggal Mulyo Lestari yang menjalankan pengelolaan hutan rakyat secara lestari skema Forest Stewarship Council (FSC) dan Sistem Verifikasi Legalitas KAyu (SVLK) dengan produk unggulan getah pinus hutan rakyat.
 
Saat ini taman telah terisi oleh beberapa jenis bunga dan perdu penghasil nektar dan pollen. Secara perinci taman ini telah dihuni oleh xanthos berbunga kuning (Xanthostemon chrysanthus), xanthos berbunga merah (Xhantostemon youngii), bunga  melati (Jasminum rex), bunga air mata pengantin (Antigonon leptopus), beberapa jenis bunga krokot (Portulaca sp), bunga matahari (Helianthus annuus), bunga kaliandara lusiana, bunga kaliandara merah, bunga kaliandara pagoda, bunga zilvia, bunga porana vulbis, bunga sikat botol, bunga dombea, pohon jambu delly, pohon belimbing, pohon durian, pohon kopi, pohon mangga, pohon pinus, pohon akasia.
 
Sampai dengan saat ini, pembangunan Mrayan Trigona Park masih memasuki fase pertama, yaitu penanaman dan pengayaan jenis tanaman untuk pakan lebah trigona serta penataan kawasan taman.
 
Di Mrayan Trigona Park ini, ada beberapa koleksi species trigona antara lain Trigona itama, T.biroi sarawakensis dan T.laeviceps. Koleksi beberapa jenis trigona ini selain untuk edukasi, wisata ilmiah dan pelatihan juga diharapkan sebagai tempat konservasi species trigona yang ada di Jawa.
 
Mrayan Trigona Park juga akan membangun area dengan peruntukan lebah bersengat dari jenis apis cerana dan apis melifera  sehingga selain menambah estetika, adanya taman-taman tersebut menjadi sarana edukasi budidaya lebah penghasil madu dan wisata ilmiah untuk siswa sekolah, penyuluh kehutanan, masyarakat maupun Kelompok Tani Hutan (KTH).
 
Masih terus dilakukan peningkatan komposisi jenis tanaman pengisi yang akan menjadi sumber nektar dan polen agar lebah bersiklus normal dan berproduksi. Selain itu juga akan dibuat sebagai spot yang instagramable melalui penambahan ornament taman untuk spot poto selfie.
 
Keberadaan Mrayan Trigona Park ini menjadikannya sebuah konsep terintegrasi dari pembudidayaan lebah trigona yang berbasis hutan rakyat dan sekaligus berperan sebagai show window bagi Koperasi Kelompok Tani Hutan (KTH) Enggal Mulyo Lestari melalui badan usaha koperasi yang didirikan yang menggabungkan konsep estetika dengan edukasi.

Penilikan Jarak Jauh SVLK Di KTH Enggal Mulyo Lestari

 


Sistem Verifikasi Legalitas Kayu atau SVLK berfungsi untuk memastikan produk kayu dan bahan bakunya diperoleh atau berasal dari sumber yang asal-usulnya dan pengelolaannya memenuhi aspek legalitas. Kayu disebut legal bila asal-usul kayu, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, pengangkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindahtanganannya dapat dibuktikan memenuhi semua persyaratan legal yang berlaku. SVLK disusun bersama oleh sejumlah pihak (parapihak). SVLK memuat standar, kriteria, indikator, verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian yang disepakati parapihak.

SVLK diterapkan di Indonesia untuk memastikan agar semua produk kayu yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia memiliki status legalitas yang meyakinkan. Konsumen di luar negeri pun tidak perlu lagi meragukan legalitas kayu yang berasal dari Indonesia. Unit manajemen hutan tidak khawatir hasil kayunya diragukan keabsahannya. Industri berbahan kayu yakin akan legalitas sumber bahan baku kayunya sehingga lebih mudah meyakinkan para pembelinya di luar negeri.

Pelaksanaan sertifikasi yang dilakukan oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) Enggal Mulyo Lestari Desa Mrayan Kecamatan Ngrayun Kabupaten Ponorogo merupakan proses sertifikasi VLK yang dilakukan internal audit oleh pengurus inti KTH Enggal Mulyo Lestari sendiri sebelum di nilai oleh Lembaga Sertifikasi (LS) yang ditunjuk yaitu PT Mutu Agung Lestari (MAL) dengan sistem jarak jauh.

KTH Enggal Mulyo Lestari terbentuk pada tahun 2016 berdasarkan Akta Pendirian Kelompok Tani Hutan Enggal Mulyo Lestari No. 41/N/I/2016 tanggal 28 Januari 2016, Notaris Unggul Sulistiawan, SH. MKn. Terdapat penjelasan seperti maksut/tujuan pembentukan KTH, usaha dan kegiatan, syarat anggota dan keanggotaan, hak dan kewajiban anggota, tugas dan kewajiban pengurus, serta anggaran rumah tangga. Selain itu terdapat beberapa dokumen penetapan/pengesahan KTH Enggal Mulyo Lestari dari berbagai intitusi pemerintahan, yaitu :

  1. Surat Keputusan Pemerintah Desa Mrayan No. 11 tahun 2014 tanggal 16 Oktober 2014 tentang Penetapan Pembentukan Kelompok Tani Hutan Enggal Mulyo Lestari.
  2. Sertifikat Penetapan Kelompok Tani Hutan Kelas Utama No.001/EML/123.5/XII/2018 tanggal 28 Desember 2018 dari Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Timur.
  3. Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. AHU-0077469.AH.01.07 Tahun 2016 tanggal 03 November 2016 tentang pengesahan Badan Hukum Perkumpulan Enggal Mulyo Lestari Kelompok Tani Hutan

Adapun susunan struktur organisasi KTH Enggal Mulyo Lestari adalah sebagaimana berikut :

Ketua

:

Suparno, SH

Sekretaris

:

Nurul Edi Rahayu

Bendahara

:

Budi Susilo

Bidang Produksi

:

Sidik Hudoyo, Mujianto, Damiran

Bidang Ekologi

:

Tulus Setiono, Sabarudin, Pariwandi

Bidang Sosial

:

Latif Setiono, Sumarno, Heni Fitri

Bidang Pengembangan Usaha

:

Tris Dwianto, Agung, Sumadi

Koordinator Dusun

:

Nyujiran (Krajan), Katwandi (Tempuran), Mislan (Pakel), Blengoh (Plandon)

Manajer Unit Usaha

:

Hariyoko, SE

 

KTH Enggal Mulyo Lestari pernah mendapatkan penghargaan juara 1 Wana Lestari tingkat Privinsi Jawa Timur kategori Kelompok Tani Hutan tahun 2018 dan KALPATARU tingkat Provinsi Jawa Timur kategori penyelamat lingkungan tahun 2017.