Minggu, 10 Oktober 2021

Model Agroforestri Berbasis Kopi

 


Pengertian Agroforestri

Berdasarkan definisi ICRAF, pengertian agroforestri adalah penamaan bagi sistem atau teknologi penggunaan lahan di mana tanaman berkayu berumur panjang (termasuk pohon, semak, palem, bambu, dll) dan tanaman pangan dan/atau pakan ternak berumur pendek diusahakan pada petak lahan yang sama dalam suatu pengaturan ruang atau waktu. Di dalamnya terjadi interaksi ekologi dan ekonomi antar unsur-unsurnya (Lundgren dan Raintree, 1982 dalam Nair, 1993). Bentuk agroforestri cukup beragam, mulai dari yang sederhana (hanya terdiri dari dua komponen atau jenis: tanaman berkayu dan tanaman pangan) hingga yang kompleks (terdiri dari beberapa komponen, termasuk binatang). Di Indonesia kita mengenal beberapa bentuk atau istilah yang merujuk pada sistem agroforestri seperti tumpang sari, wana tani, kebun campur, dll. Adapun tanaman yang dominan dalam sistem tersebut biasanya diikutsertakan dalam penamaan. Contohnya agroforestri berbasis kopi menunjukkan kopi menjadi tanaman dominan dalam sistem agroforestri tersebut.
 
 
Model Agroforestri Berbasis Kopi

Tanaman kopi membutuhkan tanaman penaung karena akan menunjang keberlanjutan usaha tani kopi, yaitu mempertahankan produksi dalam jangka panjang (di atas 20 tahun) dan mengurangi kelebihan produksi (over bearing) dan mati cabang (DaMatta dkk, 2007 dalam Supriadi dan Pranowo, 2015). Pada tanaman kopi tanpa penaung, selama periode pembungaan terjadi peningkatan penyerapan karbohidrat oleh daun dan cabang untuk menunjang proses pembentukan pembuahan. Akibatnya akar, cabang dan daun mengalami kerusakan. Dengan adanya tanaman penaung proses pematangan buah diperlambat sehingga dapat mengurangi kelebihan produksi dan kerusakan pada akar, daun dan cabang (Muschler, 2001 dalam Bote dan Struik, 2011; dan Ricci dkk, 2011 Supriadi dan Pranowo, 2015).
 
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dan pengalaman yang berkembang selama ini, dapat disimpulkan bahwa sistem agroforestri berbasis kopi menjadi syarat penting untuk menunjang produktivitas kebun. Menurut Hairiah dan Rahayu (2010) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) bentuk agroforestri berbasis kopi yang ada dapat dikelompokkan menjadi dua sistem, yaitu sistem agroforestri kompleks (tersusun atas beberapa lapisan tajuk pohon atau multistrata) dan agroforestri sederhana. Agroforestri kompleks berbasis kopi adalah tanaman kopi  yang ditanam dengan menggunakan lebih dari lima jenis tanaman penaung, sedangkan pada agroforestri sederhana menggunakan kurang dari lima jenis tanaman penaung. Basal area (luas lahan yang ditutupi tanaman) tanaman kopi pada kedua sistem agroforestri tersebut kurang dari 80%.
 
Supriadi dan Pranowo (2015) yang mengutip hasil penelitian beberapa peneliti menyebutkan beragam tanaman penaung yang digunakan petani pada agroforestri berbasis kopi. Tanaman penaung tersebut ada yang berupa tanaman buah-buahan (antara lain: alpukat, mangga, jambu biji, pisang, pepaya, rambutan, jengkol, nangka durian, cempedak, sukun, petai, markisa, dan jeruk); tanaman perkebunan (seperti: karet, kayu manis, cengkeh, kemiri, kakao, kelapa, pala, dan melinjo); sampai tanaman penghasil kayu/tanaman hutan (seperti: jati putih (Gmelina arborea), kayu Afrika (Maesopsis eminii), mahoni, leda, suren, jati, cempaka, rasamala (Altingia excelsa), dan pinus).
 
Hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan model agroforestri berbasis kopi adalah:

1. Kebutuhan tingkat nauangan tanaman kopi
Tanaman kopi muda memerlukan tingkat naungan berkisar 35–66% untuk menunjang pertumbuhan-nya (Baliza dkk, 2012; dan Sobari dkk, 2012 dalam Supriadi dan Pranowo, 2015). Sedangkan pada tanaman kopi yang sudah berproduksi (umur di atas 4 tahun) tingkat naungan yang diperlukan berkisar 30–50% (Ricci dkk, 2011; dan Fathurrohmah, 2014 dalam Supriadi dan Pranowo, 2015). Sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan tanaman kopi, maka diperlukan pengaturan jarak tanam/populasi tanaman penaung.
 
2.   Interaksi antar tanaman dan tanah
Interaksi antar tanaman dapat bersifat langsung atau tidak langsung. Interaksi langsung misalnya tanaman penaung yang bersifat menghambat pertumbuhan tanaman kopi (efek allelophathy). Interaksi tidak langsung ada yang bersifat negatif, misalnya menyebabkan adanya persaingan dalam penyerapan unsur hara, air, atau pemanfaatan intensitas sinar matahari. Namun ada pula interaksi tidak langsung yang bersifat positif, misalnya tanaman penaung menghasilkan nitrogen sehingga menambah unsur hara tanah dan menguntungkan tanaman kopi. Interaksi tidak langsung juga ada yang berperan sebagai “pihak ketiga”, misalnya tanaman penaung menjadi inang bagi hama atau penyakit bagi tanaman kopi (Suprayoga dkk, 2003). Untuk itu perlu dilakukan pemilihan jenis tanaman penaung maupun tanaman penutup tanah (bila diterapkan) secara tepat, yaitu memilih jenis tanaman yang memiliki interaksi yang bersifat positif.

3.  Kondisi lahan kebun
Kondisi lahan kebun terutama di lokasi kritis, seperti rawan erosi dan longsor perlu diperhatikan dalam menerapkan model agroforestri berbasis kopi. Tanaman penaung atau tanaman penutup tanah yang menjadi penguat tanah diperlukan untuk mengurangi tingkat erosi dan longsor dengan pola dan jarak tanam yang tepat.
 
4.  Potensi ekonomi produk yang dihasilkan
Tanaman penaung, tanaman penutup tanah, maupun ternak yang diintegrasikan dalam model agroforestri berbasis kopi sebaiknya yang memiliki potensi ekonomi cukup baik, misalnya ditunjukkan oleh adanya kebutuhan akan produk yang dihasilkan, kemudahan pemasaran, dll. Hal yang termasuk pertimbangan ekonomi adalah memaksimalkan pengaturan waktu panen dari produk yang dipilih (misalnya bulanan, musiman, dan tahunan) sehingga dapat dihasilkan produk sepanjang waktu dari agroforestri berbasis kopi. Dengan demikian hasil dari agroforestri berbasis kopi dapat meningkatkan pendapatan petani, selain hasil dari kopi sebagai tanaman utama.
 
 
Manfaat Agroforestri Berbasis Kopi

Manfaat yang dihasilkan dari penerapan agroforestri pada kebun kopi secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu manfaat secara ekologis dan ekonomis. Secara ekologis manfaat penerapan agroforestri berbasis kopi antara lain adalah:
 
1.  Konservasi tanah
Agroforestri berbasis kopi dapat mengurangi laju aliran permukaan dan erosi tanah. Hasil penelitian Dariah, dkk (2004) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) menunjukkan bahwa tingkat aliran permukaan (46,36 mm) dan erosi (1,29 ton/ha) pada agroforestri berbasis kopi lebih rendah dibandingkan kopi monokultur yang mempunyai aliran permukaan dan erosi masing-masing 53,25 mm dan 1,50 ton/ha. Bahkan Utami (2011) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) melaporkan aliran permukaan pada sistem agroforestri berbasis kopi lebih rendah dari lahan terbuka dan hutan.
 
2.   Konservasi air
Agroforestri berbasis kopi dapat meningkatkan ketersediaan air tanah karena air hujan dapat diresapkan lebih banyak ke dalam permukaan tanah berkat struktur tajuknya yang berlapis. Hasil penelitian Cannavo, dkk (2011) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) menunjukkan pada kedalaman tanah 100 – 200 cm, ketersediaan air pada agroforestri berbasis kopi lebih tinggi dibandingkan kebun kopi monokultur. GuimarĂ£es, dkk (2014) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) melaporkan bahwa kadar air tanah pada sistem agroforestri berbasis kopi lebih tinggi dibandingkan kopi monokultur (tanpa naungan) maupun hutan sekunder. Sedangkan Maharahi, dkk (2013) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) melaporkan bahwa kadar air pada sistem agroforestri kopi multistrata dapat mencapai 49,10%.
 
3.    Konservasi keanekaragaman hayati
Keanekaragaman hayati yang dapat didukung oleh sistem agroforestri berbasis kopi cukup beragam, seperti satwa liar, serangga, jamur mikroskopis, hingga bakteri tanah. Hasil penelitian Caudill, dkk (2014) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) menunjukkan keanekaragaman mamalia pada agroforestri berbasis kopi 5% lebih besar dibandingkan kopi monokultur. Agroforestri berbasis kopi dapat memberikan kelembaban udara yang sesuai untuk semut terutama di musim kemarau (Teodoro dkk, 2010 dalam Supriadi dan Pranowo, 2015). Sedangkan semut merupakan musuh alami/predator penggerek  buah kopi (PBKo) (Hypothenemus hampei), dalam 5 hari semut dapat membunuh 74-99% dari populasi PBKo (Armbrecht dan Gallego, 2007 dalam Supriadi dan Pranowo, 2015). Sedangkan menurut laporan Bonfim dkk (2010) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) pada agroforestri kopi dengan tanaman penaung Salamandar (Grevillea robusta), jumlah spora jamur mikoriza arbuskular (Arbuscular Mycorrhizal Fungi) dua kali lipat dibandingkan kopi monokultur. Begitu juga dengan bakteri tanah yang berfungsi dalam siklus unsur hara dan fiksasi N pada agroforestri berbasis kopi populasinya 22% lebih tinggi dibandingkan kopi monokultur (Evizal dkk, 2012 dalam Supriadi dan Pranowo, 2015).
 
4.   Penambahan unsur hara
Keberadaan berbagai jenis tanaman selain kopi pada sistem agroforestri berbasis kopi dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara. Berdasarkan hasil penelitian Qifli dkk (2014) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) kandungan unsur N pada agroforestri kopi multistrata dan sederhana lebih tinggi daripada kebun kopi monokultur (berturut-turut 13,22%; 15,70%; dan 12,30%). Adapun Ebisa (2014) dalam Supriadi dan Pranowo  (2015) melaporkan bahwa pada agroforestri berbasis kopi terdapat unsur fosfor (P) sebesar 5,44 ppm sedangkan pada kebun kopi monokultur tidak ada. Sedangkan untuk unsur kalium (K) pada agroforestri berbasis kopi lebih tinggi dibandingkan kebun kopi monokultur (berturut- turut 3,15 dan 3,08 ppm.
 
5.    Penambahan cadangan karbon
Besarnya cadangan karbon yang dapat disimpan oleh ekosistem pertanian maupun hutan saat ini menjadi perhatian penting dunia karena berperan dalam menurunkan jumlah karbon di atmosfer yang menjadi penyebab perubahan iklim. Menurut hasil penelitian Hairiah dan Rahayu (2010) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) rata-rata cadangan karbon pada agroforestri multistrata berbasis kopi paling tinggi dibandingkan agroforestri sederhana (naungan tunggal) milik kebun percobaan dan milik petani, serta kebun kopi monokultur (berturut-turut: 43; 38; 23; dan 13 ton C/ha). Adapun bila dibandingkan dengan cadangan karbon hutan primer, cadangan karbon yang dapat disimpan oleh agroforestri berbasis kopi multistrata dan sederhana masing-masing adalah sebesar 47,19% dan 42,98%, sedangkan bila dibandingkan dengan hutan sekunder nilainya masing-masing sebesar 87,66% dan 79,85% (Sari dan Hariah, 2012 dalam Supriadi dan Pranowo, 2015).
 
6.  Menekan serangan hama dan penyakit
Agroforestri berbasis kopi dapat menekan serangan beberapa hama dan penyakit.  Menurut hasil penelitian Bedimo dkk (2008) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) penyakit buah hijau kopi, yang disebabkan oleh Colletotrichum kahawae dapat ditekan pada kebun kopi yang menerapkan sistem agroforestri. Penyakit ini sendiri merupakan kendala utama untuk budidaya kopi Arabika di Afrika, yang dapat menyebabkan kerugian panen 60%. Adapun hasil penelitian Sribawa dkk (2010) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) menunjukkan bahwa sistem agroforestri berbasis kopi dengan tingkat naungan di atas 40% dapat menurunkan kelimpahan nematoda parasit.
 
Adapun secara ekonomis, manfaat dari penerapan agroforestri berbasis kopi adalah:

1.   Peningkatan produksi, mutu, dan cita rasa kopi
Sistem agroforestri berbasis kopi dapat meningkatkan mutu dan produksi kopi dibandingkan kebun kopi monokultur. Berdasarkan hasil penelitian Bote dan Struik (2011) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) tanaman kopi Arabika yang menggunakan naungan menghasilkan berat biji lebih besar (148 g/1000 biji) dibanding tanpa naungan (134 g/1000 biji) dan kualitas biji yang lebih baik dibandingkan tanpa naungan. Pada panen pertama (umur tanaman 3 tahun) umumnya produksi biji kopi dengan naungan lebih rendah dibandingkan kopi tanpa naungan. Namun pada panen berikutnya (umur tanaman 4  hingga 15 tahun) produktivitas kopi yang ditanam dengan naungan lebih tinggi dibandingkan kopi tanpa naungan (Ricci dkk, 2011; dan Evizal, 2010 dalam Supriadi dan Pranowo, 2015). Meskipun produksi pada agroforestri berbasis kopi lebih baik dibandingkan dengan kebun kopi monokultur, namun demikian tingkat naungan dan kesuburan tanah perlu diperhatikan dalam penerapannya. Penerapan agroforestri berbasis kopi juga dapat meningkatkan cita rasa kopi. Berdasarkan hasil penelitian Erdiansyah dan Yusianto (2012) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) kadar kafein dalam biji kopi berkorelasi positif dengan intensitas cahaya. Intensitas cahaya tinggi yang masuk ke kebun menyebabkan aroma kopi Robusta yang makin kuat, sedangkan untuk membentuk cita rasa terbaik diperlukan intensitas cahaya sedang.
 
2.   Peningkatan pendapatan
Nilai ekonomi dari agroforestri berbasis kopi lebih tinggi dibandingkan dengan kebun kopi monokultur (tanpa naungan). Berdasarkan hasil penelitian Pramastiwi dkk (2010) dalam Supriadi dan Pranowo (2015) kebun kopi monokultur hanya memberikan nilai NPV (Net Present Value) Rp. 13.594.616/ha, BCR (Benefit Cost Ratio) 1,31 dan IRR (Internal Rate Return) 22,08%. Sedangkan jika diusahakan dalam sistem agroforestri sederhana berbasis kopi, agroforestri multistrata kayu-kayuan berbasis kopi, dan agroforestri multistrata multiguna berbasis kopi memberikan nilai NPV masing-masing sebesar Rp. 14.136.907, Rp. 14.894.276, dan Rp. 18.759.216/ha; BCR masing-masing sebesar 1,32; 1,34, dan 1,42; dan
IRR masing-masing sebesar 22,55%; 22,79%; dan 25,07%.
 
 
Sumber Rujukan
Nair, P. K. R. 1993. An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht,  The Netherlands.
Suprayoga, D., Hairiah, K., Wijayanto, N., Sunaryo, dan van Noordwijk, M. 2003. Peran Agroforestri pada Skala Plot: Analisis komponen agroforestri sebagai kunci keberhasilan atau kegagalan pemanfaatan lahan. Bahan Ajaran Agroforestri 4. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia. Bogor, Indonesia.
Supriadi, H. dan Pranowo, B. 2015. Prospek pengembangan agroforestri berbasis kopi di Indonesia. Perspektif 14 (2): 135 -150.

Oleh: Sukardi Ariyanto

Perlindungan Mata Air

Bagaimana konsep dasar perlindungan mata air?

Perlindungan mata air secara sederhana dapat diartikan berbagai upaya yang dilakukan untuk memulihkan, menjaga dan melindungi mata air dan hasil airnya baik kualitas, kuantitas maupun kontinuitas.

Konsep perlindungan mata air mempunyai spektrum keruangan yang lebih luas, tidak hanya daerah sekitar titik mata air saja, tetapi juga meliputi seluruh Daerah Tangkapan Air (DTA) mataair (springshed).

Perlindungan juga dapat dipandang dari sudut pandang infrastruktur dan kawasan.  Perlindungan mata air berupa infrastruktur pada intinya adalah perlindungan melalui struktur bangunan, misalnya bangunan penampung air.  Sudut pandang kawasan merujuk perlindungan mata air secara spasial baik sekitar titik mata air maupun DTA mata air. 

Dari sudut pandang apapun, zonasi secara spasial untuk upaya perlindungan mata air perlu untuk didefinisikan.  Secara sederhana pembagian zona perlindungan setidaknya terdiri atas: titik dimana mata air berada, daerah sekitar mata air, dan Daerah Tangkapan Air (DTA) mata air (springshed).  Setiap zona perlindungan memiliki karakteristik dan tujuan perlindungan yang spesifik, sehingga hal ini menjadi dasar penentuan strategi perlindungan yang dapat dilaksanakan.

Bagaimana memahami mata air secara praktis?

Pemahaman mata air merupakan kunci dalam perlindungan mata air itu sendiri.  Informasi penting yang berhubungan dengan pemahaman mata air setidaknya meliputi proses kejadian mata air, karakteristik aliran, sifat fisika dan kimia air, dan prediksi daerah tangkapan airnya (DTA).  Pengetauan tentang karakteristik mata air menjadi sangat penting sebagai dasar strategi perlindungan, termasuk didalamnya untuk menentukan prediksi DTA mata air. 

Proses kejadian mata air tidak terlepas dari beberapa kondisi yang mempengaruhi. Setidaknya terdapat tiga kondisi yang mempengaruhi kemunculan mata air, yaitu kondisi morfologi, kondisi geologi dan kondisi hidrogeologi.  Proses kejadian mata air pada dasarnya banyak digunakan karakterisasi mata air, diantaranya berdasarkan sifat pengaliran air tanah, debit air, suhu air, tipe akuifer, tenaga penyebab pengaliran air tanah dan tipe material akuifer. 

Pemahaman hasil air baik kualitas maupun kuantitas adalah salah satu sarana untuk mengetahui proses yang terjadi di DTA mata air, karena mata air dapat menggambarkan integrasi proses geologi dan hidrologi pada suatu wilayah pada kurun waktu tertentu. 

Informasi karakteristik air mata air dapat digunakan untuk memprediksi besarnya imbuhan air tanah, memprediksi asal air mata air, memprediksi karakteristik material permukaan dan menentukan prediksi luas DTA. Tingkat kedalaman pemahaman mata air akan sangat tergantung pada kedalaman data yang dimiliki.  Semakin lengkap data yang dimiliki baik secara spasial maupun temporal maka pemahaman akan semakin komprehensif dan akurat.

Terlepas dari berbagai keterbatasan data dan informasi yang berkaitan dengan mata air, pendekatan praktis sangat diperlukan.  Pemahaman praktis ini didasarkan pada proses kemunculan mata air.  

Pertama, adalah mata air yang keluar secara horizontal.  Mata air ini di Jawa dikenal sebagai istilah umbul lanang (mataair laki-laki).  Mata air ini memiliki karakteristik mengalir ke permukaan secara horizontal.  Pada umumnya mata air ini mempunyai akuifer yang dangkal, berasal dari air tanah pada akuifer tidak tertekan dan memiliki sistem aliran bersifat lokal.  Hasil air secara kuantitatif sangat dipengaruhi oleh perubahan musim, dengan kata lain akan berfluktuasi sesuai musim atau input air hujan.  Secara kualitas termasuk sedang, dan aktivitas manusia di atasnya akan sangat berpengaruh.  Penentuan DTA mata air ini dapat memanfaatkan pendekatan batas-batas morfologi.

Kedua adalah mata air yang keluar ke permukaan secara vertical kea rah atas atau dikenal juga sebagai umbul wadon (mata air wanita). Mata air ini mempunyai cirri berasal dari akuifer tertekan yang dalam, mempunyai system aliran air regional dan kondisi geologi sangat berperan. Perubagan musim tidak mempengaruhi debit mata air secara signifikan begitu pula halnya aktivitas manusia. Penentuan DTA amat iair ini memerlukan pendekatan yang cenderung lebih rumit dan data pendukung yang lebih banyak, diantaranya dengan penggunaan pendekatan tracer test dan menggunakan batas-batas geologi


Bagaimana implementasi praktis perlindungan mata air?

Pada praktiknya perlindungan mataair dilakukan pada zona perlindungan secara spasial yang telah ditetapkan.  Setidaknya terdapat tiga zona perlindungan mata air yang harus didefinisikan.  Zona perlindungan yang dimaksud adalah: zona I (zona perlindungan titik mata air), zona II (zona perlindungan), dan zona III (zona perlindungan DTA mata air). 

Zona I merupakan zona perlindungan yang bertujuan untuk melindungi air yang keluar dari titik mata air dari semua zat pencemar. Pentapan zona I pada umumnya adalah radius 10-20 meter dari titik mata air. Upaya perlindungan yang banyak dilakukan adalah pembuatan bak penampung air sebelum didistribusikan. Hal lain yang penting dirumuskan adalah mekanisme pemanfaatan air, seperti mekanisme perijinan, penetapan aturan-aturan dan bila perlu dilengkapi standar pengelolaan yang ramah lingkungan


Zona II ditentukan dengan tujuan untuk melindungi mata air dari zat pencemar berupa bakteri patoghen yang dapat menyebabkan degradasi kualitas air.  Penentuan batas zona II diperhitungkan berdasarkan jarak tempuh bakteri colli selama kurang lebih 60 hari ke titik mata air.  Pada praktik di lapangan, batas zona ini ditentukan berdasarkan jarak dari mata air ke arah hulu (upstream) sejauh 200-300 m.  Pada zona ini berbagai kegiatan yang berpotensi untuk mencemari air tidak diperkenankan, termasuk kegiatan budidaya yang menggunakan pestisida atau pupuk berlebihan dan kegiatan antropogenik lainnya.


Zona III merupakan DTA mata air dimana air hujan yang jatuh sebagian akan terinfiltrasi dan memasuki sistem air tanah dan pada akhirnya akan muncul di titik mata air.  Zona ini pada dasarnya bertujuan untuk melindungi mataair dari zat pencemar yang tidak dapat mengalami degradasi dalam waktu singkat.  Secara praktis di lapangan, zona III ditentukan berdasarkan luas tangkapan air mataair. 


Penentuan batas DTA mata air ini akan sangat tergantung pada pemahaman tentang mataair yang telah dikemukakan sebelumnya.  Mata air yang mempunyai sistem aliran lokal dapat menggunakan pendekatan batas morfologi.  Mata air dengan sistem aliran regional dapat menggunakan pendekatan geologi atau tracer test.  Berbagai pendekatan secara hidrologis untuk menduga luas DTA mataair juga banyak dikembangkan, diantaranya pendekatan Todd (1980). 


Upaya perlindungan pada zona ini sangat luas dan akan ditentukan oleh karakteristik morfologi dan penggunaan/penutupan lahan.  Namun demikian pada zona ini hendaknya diupayakan adanya penyediaan ruang yang cukup untuk peresapan air hujan sebagai imbuhan air tanah. 


Aktivitas yang dapat mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi lindung suatu kawasan perlu dikendalikan, bahkan dilakukan pelarangan.  Aktivitas budidaya sedapat mungkin yang ramah lingkungan sehingga tidak menimbulkan dampak negatif, namun masih bisa memberikan keuntungan secara sosial ekonomis.