Selasa, 27 Oktober 2020

Pengendali Jurang




Rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktifitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. RHL bisa dilakukan dengan 2 (dua) metode, yaitu melalui metode vegetatif dan sipil teknis.

Prinsip metode vegetatif adalah menambah jumlah tanaman sehingga hutan bisa menjalankan fungsinya sebagai pengatur tata air. Beberapa contoh metode vegetatif adalah pengkayaan hutan rakyat, penanaman hutan kota dan hutan pantai. Metode sipil teknis lebih mengarah ke pembangunan konstruksi serta merupakan usaha konservasi tanah dan air. Contohnya adalah pembangunan sumur resapan, gully plug, embung, dan sebagainya.




Gully plug atau pengendali jurang merupakan salah satu bentuk bangunan konservasi tanah yang berfungsi sebagai pencegah atau pengendali erosi agar tidak meluas. Manfaat gully plug adalah:

1.    Mencegah terbentuknya jurang atau parit yang semakin besar akibat gerusan air

2.    Memperbaiki lahan yang rusak akibat gerusan air sehingga terjadi jurang/ parit.

3.   Mengendalikan endapan/ sedimen serta air dari hulu, sehingga endapan di wilayah hilir bisa lebih terkontrol

4.    Memperbaiki tata air di wilayah sekitarnya.

Bangunan yang tersusun dari batu dan kawat bronjong ini dibangun dengan posisi melintang arus air, tetapi tetap bisa meloloskan air.  Ada pemasangan bronjong yang diisi dengan batu dan ada juga bagian yang hanya diisi dengan batu kosong. Bagian tepi gully plug tertanam di tanah sehingga lebih kuat dalam menahan arus air dan sedimen. Pembangunan gully plug harus memenuhi persyaratan teknis seperti yang tercantum pada Peraturan Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung Nomor P.6/PDASHL/SET/KUM.1/8/2017 tentang Petunjuk Teknis Bangunan Konservasi Tanah dan Air.

Persyaratan teknis lokasi gully plug antara lain:

1.    Kemiringan DTA > 35 % dan terjadi erosi parit/alur;

2.    Pengelolaan lahan sangat intensif atau lahan terbuka;

3.    Luas DTA 1 - 5 ha; 

4.    Kemiringan alur ≤10%;

5.    Tingkat erosi dan sedimentasi yang tinggi dan mampu menampung aliran permukaan yang besar; dan/atau

6.    Merupakan lokasi penanganan dampak bencana alam




Tidak ada komentar: