Rabu, 10 Februari 2016

MEMBACA KERESAHAN PENYULUH

http://agroindonesia.co.id/wp-content/uploads/2015/10/penyuluhan-lmdh-madyo-laras.jpg
http://agroindonesia.co.id/wp-content/uploads/2015/10/penyuluhan-lmdh-madyo-laras.jpg

Penyelenggara penyuluhan di Kabupaten/Kota saat ini sedang resah dan kebingungan. Jika menggunakan bahasa gaul, mereka sedang “galau tingkat dewa”. Penyebabnya tak lain UU No.23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Terbitnya UU No. 23 tahun 2014 ternyata membuat hilangnya kewenangan untuk urusan bidang kehutanan. Yang hilang bahkan seluruh urusan bidang kehutanan. Situasi ini dikhawatirkan membuat kegiatan penyuluhan menjadi terabaikan. Padahal, banyak juga pemerintah Kabupaten/Kota yang memiliki komitmen untuk penyelenggaraan penyuluhan, mengingat perannya yang sangat vital.
Kepala Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BP2KP) Kabupaten Cilacap, Susilan, misalnya. Dia mengaku saat ini pihaknya sedang gelisah. Hilangnya kewenangan penyelenggaraan penyuluhan kehutanan dikhawatirkan bakal mempengaruhi efektivitas kegiatan penyuluhan di lapangan. “Dengan rentang kendali yang semakin jauh, tentu tantangan kegiatan penyuluhan kehutanan semakin sulit,” katanya.
Susilan mengungkapkan, optimisme kegiatan penyuluhan kehutanan akan semakin baik dan coba dibangun pasca terbitnya UU No 23 tahun 2014. Namun, realitasnya hal itu sangat sulit dilakukan. Berbagai urusan terkait kegiatan penyuluhan, seperti administrasi, penyediaan sarana dan prasana, dan hal terkait lainnya akan lebih mudah dilakukan jika penyelenggara kegiatan dekat dengan penyuluh dan target penyuluhannya.
Susilan pun mengaku khawatir dengan masa depan program pengembangan hutan rakyat, pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, dan program kehutanan lainnya. Penyelenggaraan penyuluhan yang tidak efektif dipastikan akan mengancam keberhasilan program-program prioritas tersebut. “Hutan di Cilacap cukup luas dan butuh penanganan. Jika tidak akan terancam kritis,” katanya.
Saat ini jumlah penyuluh kehutanan di BP2KP Kabupaten Cilacap mencapai 45 orang. Selain itu juga tercatat 81 penyuluh pertanian, 84 Tenaga Harian Lepas-Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian, dan 13 orang penyuluh perikanan.
Menurut Susilan, jumlah penyuluh yang ada saat ini sesungguhnya pas-pasan. Dia khawatir formasi penyuluh yang ada bakal berubah jika pemerintah provinsi melakukan mutasi jabatan.
Dia makin galau karena berdasarkan UU No. 23 tahun 2014, kewenangan penyelenggaraan penyuluhan di sektor lain juga tak jelas. Untuk penyelenggaraan penyuluhan perikanan ditarik sepenuhnya ke Pusat. Sementara penyelenggaraan penyuluhan pertanian masih menunggu kejelasan lebih lanjut yang bakal diatur dalam peraturan presiden (Perpres).
“Kami harap UU No. 23 tahun 2014 bisa segera direvisi. Urusan penyelenggaran penyuluhan terlalu kecil jika harus diatur dari pusat secara langsung,” katanya.
Perpres segera terbit
Wajar memang jika ada harapan agar UU Pemerintahan Daerah direvisi kembali. Apalagi, akibat UU tersebut, Bapeluh kini kehilangan kewenangan urusan bidang kehutanan. Bahkan, tak cuma itu. Bapeluh juga kehilangan kewenangan urusan bidang perikanan yang ditarik sepenuhnya ke Pusat.
Eksistensi Bapeluh juga makin tidak jelas. Kewenangan urusan bidang Pertanian pun masih belum diatur secara tegas, sebab masih menunggu terbitnya peraturan presiden sesuai amanat UU Pemerintahan Daerah.
Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kementerian Pertanian, Pending Dadih Pernana menyatakan, saat ini pihaknya masih menunggu terbitnya peraturan presiden (Perpres) yang mengatur peta kewenangan tentang konkurensi.
Dia mengatakan, draft perpres sudah tuntas dan sedang difinalisasi di Kementerian Dalam Negeri. “Mudah-mudahan dalam waktu dekat sudah bisa terbit,” katanya.
Dia menjelaskan, dalam perpres itu nantinya akan mengatur hal-hal subtantif yang merupakan amanat dari Undang-undang No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Termasuk di dalamnya adalah kebijakan strategi, pembinaan dan pengawasan, kelembagaan, ketenagakerjaan, dan pelaksanaan.
Harapan
Di tengah kondisi galau akibat dampak UU Pemerintahan Daerah, ada optimisme yang coba dibangun oleh para penyuluh kehutanan. Mereka berharap kegiatan penyuluhan bakal makin diperhatikan. Dampaknya, penyelenggaraan urusan penyuluhan pun bakal makin efektif.
Berti, penyuluh kehutanan dari Biak Numfor, Papua menyatakan, saat ini perhatian yang diterima penyuluh dan kegiatan penyuluhan kehutanan sangat minim. “Jadi, kami mohon agar diperhatikan mengingat pentingnya kegiatan penyuluhan,” katanya.
Dia menuturkan, jumlah penyuluh kehutanan di Biak Numfor ada delapan orang. Terkesan banyak. Namun, dengan luas wilayah kerja yang terdiri atas 19 kecamatan dan 250 kampung, petugas tersebut sangatlah minim. Luas daratan Kabupaten Biak Numfor sendiri sekitar 3.000 km2.
“Biak Numfor ini kepulauan. Jadi, banyak lokasi yang sulit dijangkau,” kata Berti.
Harapan positif juga dinyatakan Nurhayadi, penyuluh dari Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Penyuluh pemenang pertama penghargan Wana Lestari 2015 itu menyatakan, dengan ditariknya penyelenggaraan penyuluhan kehutanan ke Kementerian LHK, maka kegiatan penyuluhan kehutanan akan lebih fokus.
Dia menuturkan, selama ini ada salah kaprah dalam penyelanggaran penyuluhan, di mana seorang penyuluh diharuskan memiliki kemampuan di lintas bidang pertanian, perikanan, kehutanan. Hal itu membuat penyuluh tak fokus dengan bidang pekerjaannya.
“Seseorang yang spesialis akan lebih baik, sehingga pekerjaannya pun berdampak kepada bidang lain,” katanya. Sugiharto


Tidak ada komentar: